Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Penyelesaian di luar pengadilan mungkin menjadi cara terbaik untuk kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor. Namun pemerintah sebaiknya tidak jalan sendiri karena sidang gugatan perwakilan (class action) petani rumput laut di Nusa Tenggara Timur sedang berlangsung di Pengadilan Federal Sydney, Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah perlu terobosan dalam kasus yang melibatkan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Australasia, anak usaha perusahaan minyak pelat merah Thailand, PTT Public Company Limited, ini. Sebab, kasus ini sudah terkatung-katung hampir sembilan tahun. Hingga kini, belum ada penyelesaian, baik untuk pemerintah maupun nelayan dan petani rumput laut di Nusa Tenggara Timur yang terkena dampak langsung tumpahan minyak pada Agustus 2009 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Usul jalan tengah dari Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan agar soal ini diselesaikan di luar pengadilan patut dipertimbangkan. Ada alasan kuat soal itu, yakni mempertimbangkan hubungan kedua negara sebagai sesama anggota ASEAN. Selain itu, perusahaan minyak terbesar ke-10 di dunia ini juga akan mengucurkan investasi di Indonesia sebesar US$ 2 miliar atau sekitar Rp 27,4 triliun.
Berjuang lewat pengadilan memang tak salah. Namun jalan itu masih amat panjang dan terjal.
Para nelayan menuntut PTTEP Australasia membayar ganti rugi US$ 200 juta atau sekitar Rp 2,7 triliun. Namun kasus ini baru sampai pada putusan sela soal keabsahan Daniel Sada mewakili 13 ribu nelayan dan petani rumput laut Nusa Tenggara Timur, belum masuk pokok perkara.
Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga menggugat tiga pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam kasus ini pada 2017. Selain PTTEP Australasia, dua perusahaan yang digugat pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited dan The Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited. Pemerintah menuntut mereka membayar ganti rugi Rp 27,47 triliun. Tapi, Februari lalu, gugatan itu dicabut.
Bertempur di pengadilan akan melelahkan. Perusahaan minyak yang memiliki kapitalisasi pasar Rp 438 triliun itu dan petani rumput laut sama-sama merasa memiliki argumentasi yang kuat. Mendasarkan hasil kajian lembaga independen, perusahaan itu menyatakan 98 persen minyak menggenangi perairan Australia dan tak akan mencapai perairan Indonesia. Pulau terdekat dengan tumpahan minyak ini adalah Rote, yang berjarak sekitar 82 kilometer.
Sebaliknya, petani rumput laut menyandarkan diri pada hasil dengar pendapat di Senat Australia. Australia Maritime Safety Authority, di depan sidang Senat Australia yang diprakarsai Senator Rachel Siewert pada 2010, mengaku telah menyemprotkan bubuk kimia sangat beracun dispersan jenis Corexit 9572 dan 9572-A ke permukaan Laut Timor untuk menyelesaikan tumpahan minyak Montara. Semprotan ini seketika mematikan ikan besar dan kecil. Pada 2012, pengadilan Darwin juga mendenda sebesar US$ 510 ribu atau hampir Rp 7 miliar karena perusahaan itu dinilai tak berhati-hati.
Karena itu, pemerintah sebaiknya mengajak para petani rumput laut menempuh jalan yang sama. Cara ini akan lebih mudah bagi kedua belah pihak karena konsentrasi perundingan hanya antara pihak Indonesia dan PTTEP, tanpa melibatkan pihak ketiga. Yang penting, perundingan ini harus dilakukan secara transparan agar tuntutan pemerintah dan petani rumput laut di Nusa Tenggara Timur terpenuhi. Hasilnya pun sebaiknya ditetapkan melalui pengadilan untuk menguatkan sekaligus menjamin kesepakatan itu dijalankan kedua pihak.