Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada awal Juli lalu, sebuah harian Ibu Kota memberitakan 5.000 SPPT (surat pemberitahuan pajak terutang) pajak bumi dan bangunan ditahan di kelurahan DKI Jakarta. Sebab, tidak diketahui alamat para wajib pajaknya. Padahal, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1988 mengatur koordinasi antardepartemen dan instansi pemerintah yang berkaitan dalam bidang pertanahan. Kesadaran masyarakat terhadap hukum semakin meningkat. Umumnya, peralihan hak atas tanah mereka selalu dilakukan lewat PPAT (pejabat pembuat akta tanah). Itu meliputi jual-beli, tukar-menukar, hibah, waris, hipotek, credietverband, perjanjian pemberian hak atas tanah baru, pemasukan dalam persero, pemisahan ataupun penggabungan, pemecahan, dan pembagian harta waris. PPAT selalu membuat aktanya rangkap empat. Salah satu di antaranya selalu dikirim ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kantor pertanahan setempat. Juga PPAT diwajibkan membuat laporan bulanan yang selalu dikirimkan ke kantor pertanahan. Isinya melaporkan berapa banyak akta yang dibuatnya setiap bulan. Untuk apa laporan bulanan itu? Salah satu tujuannya untuk memonitor peristiwa dan kegiatan peralihan hak atas tanah, sekaligus memonitor kegiatan PPAT di setiap kecamatan. Juga untuk menjaring PBB. Sementara itu, bentuk formulir PPAT sudah jelas, baku, bernomor seri, dan tak bisa dipalsukan. Formulir itu hanya disediakan dan dicetak oleh BPN sendiri. Pembelinya pun tertentu pula, yakni hanya PPAT. Mereka bisa membeli bila bisa menunjukkan atau menyebutkan surat keputusan pengangkatannya sebagai PPAT di kantor pos setempat. Jadi, dalam hal ini, kalau koordinasi antarinstansi terkait itu berjalan menurut semestinya, penahanan beribu-ribu SPPT PBB seperti disebutkan di atas tak perlu terjadi. Soalnya, setiap orang yang menghadap PPAT untuk membuat akta harus menunjukkan identitas dirinya, biasanya fotokopi KTP. Jadi, alamat yang tercantum dalam akta PPAT pasti melibatkan tanggung jawab lurah. Lagi pula, dalam pemilihan hak atas tanah yang masih berupa girik (hak milik adat), saksinya telah diatur oleh undang-undang, yakni harus lurah dan seorang anggota pemerintahan desa setempat (vide Pasal 25 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961) Demikianlah, semoga hal ini tak dianggap sepele sehingga tak ada pengusutan sama sekali dari pihak yang berwajib. Sebab, para pelaku pembeli hak atas tanah justru mereka yang longgar uang. Kadang-kadang mereka itu membeli tanah hanya untuk investasi, yang selanjutnya didiamkan sambil menunggu harganya naik, barulah dijual lagi, dengan nilai keuntungan yang kadang- kadang tidak kepalang tanggung. Sementara itu, warga yang hanya menempati dan memiliki sebuah rumah dengan tanah di bawahnya tak pernah luput dari penagihan PBB karena alamatnya sudah pasti. Bahkan, pada tahun 1993 ini, ada di antara mereka yang tagihan PBB-nya naik sampai 400%. Itu hanya berdasarkan penilaian sepihak oleh instansi pajak, bahwa NJOP atau nilai jual objek pajaknya telah naik. Apanya yang naik? Hartanya hanya itu, penghasilannya juga itu-itu saja. Adilkah itu? SOEPANGAT, S.H. Biro Consultant & Bantuan Hukum ''BCH'' Jalan Palem Barat 1, Kelurahan Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo