Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah sudah saatnya melarang impor sampah, wabilkhusus sampah plastik. Apalagi, sampah impor acap kali ditumpangi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang mengancam kesehatan masyarakat. Hasil investigasi mutakhir aliansi lembaga lingkungan lintas negara atas penggunaan sampah impor di Jawa Timur menyingkap bahaya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Aturan mengenai sampah impor tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016. Dalam aturan itu disebutkan bahwa limbah yang dapat diimpor hanya berupa sisa, reja (sisa buangan), dan scrap atau remah-remah sampah non-B3. Aturan ini dibuat karena ada industri, terutama kertas, yang membutuhkan bahan baku limbah untuk diolah kembali.
Faktanya, tak hanya remah-remah kertas bekas yang masuk. Limbah kertas kerap telah bercampur dengan plastik yang sulit didaur ulang. Berdasarkan investigasi Ecological Observation and Wet Conservation (Ecoton), kandungan limbah plastik dalam kontainer sampah impor bisa mencapai 35 persen. Ini bukan persentase yang kecil. Sebab, impor limbah kertas Indonesia terus meningkat. Pada tahun lalu, impor sampah kertas mencapai 738 ribu ton.
Celakanya, industri daur ulang kertas impor umumnya tak mampu mengelola kontaminan plastik serta limbah berbahaya lainnya. Karena bernilai ekonomi rendah, remah-remah limbah plastik kerap dibuang ke sungai atau ditimbun begitu saja. Ada juga limbah yang dijual ke industri kecil untuk pembakaran, seperti pabrik tahu dan batu bata.
Lebih berbahaya lagi bila sampah plastik yang dibakar itu telah bercampur dengan zat berbahaya. Di dua desa di Jawa Timur, misalnya, pembakaran sampah plastik di pabrik-pabrik tahu tak hanya mencemari udara dan tanah di sekitarnya. Zat berbahaya dari sisa pembakaran sampah plastik telah masuk ke rantai makanan manusia.
Daging dan telur dari ayam lepas liar di kedua desa itu terkontaminasi racun (dioksin) dalam kadar yang sangat tinggi. Kadarnya mendekati kandungan dioksin pada telur ayam dari beberapa desa di Vietnam yang pernah dihujani senjata kimia oleh tentara Amerika Serikat. Jika dikonsumsi manusia, dioksin bisa memicu pelbagai penyakit, seperti kardiovaskuler, kanker, dan diabetes.
Selama ini, pengawasan oleh Kementerian Perdagangan atas limbah impor juga terbukti lemah sekali. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengumumkan 1.064 kontainer sampah impor masih tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, hingga 30 Oktober lalu. Perusahaan importir belum mengajukan dokumen pemberitahuan impor barang. Sebelumnya, petugas Bea dan Cukai juga mendapati limbah B3 dalam kontainer sampah impor di Batam, Kepulauan Riau. Padahal, dokumen persetujuan impor menyebutkan kontainer itu berisi limbah tidak berbahaya.
Selain diserbu sampah plastik impor, lingkungan Indonesia sangat terbebani oleh sampah plastik lokal. Saban tahun, lingkungan kita menanggung sekitar 3,22 juta ton sampah plastik. Berdasarkan studi Jenna R. Jambeck dan kawan-kawan pada 2015, sebanyak 0,48-1,29 juta ton sampah plastik dari daratan Indonesia hanyut ke sungai, lalu mencemari lautan. Studi itu menempatkan Indonesia pada peringkat kedua pembuang sampah plastik ke lautan setelah Cina.
Kita tentu tak ingin negeri ini menjadi bak sampah beracun terbesar di dunia. Tak ada kata terlambat bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk bahu-membahu memerangi sampah, baik impor maupun domestik.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 18 November 2019