Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS intimidasi terhadap wartawan kembali terjadi. Kali ini menimpa Ferdi Talok, wartawan Timor Daily, di Atambua Selatan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Orang tak dikenal melempar rumahnya dengan batu sehingga memecahkan kaca jendela pada 5 Desember 2023 pukul 02.10 Wita. Beberapa hari sebelumnya, orang tak dikenal juga melempar rumahnya, tapi terkena tembok.
Teror serupa dialami rekan Ferdi di Timor Daily, Fredrikus Royanto Bau alias Edy Bau. Dua pria mendatangi rumahnya di Belu pada 27 November lalu. Mereka mencari Edy, yang tengah berada di Kupang. Di rumah hanya ada istri dan dua anaknya. Orang tersebut, antara lain, mengatakan Edy kurang ajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ferdi dan Edy juga mendapat ancaman di media sosial dan dimaki-maki lewat telepon. Keduanya menduga teror ini berkaitan dengan berita tentang tempat perjudian yang mereka tulis. Teror dan ancaman mulai datang setelah polisi menutup tempat perjudian di sana.
Baca Juga:
Kasus ini menambah panjang daftar kekerasan terhadap wartawan di negeri ini. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat kekerasan terhadap wartawan meningkat dalam tiga tahun terakhir. Jurnalis kerap mengalami kekerasan fisik, intimidasi, teror, ancaman, dan kekerasan seksual. Pada 2021, jumlah kasus kekerasan terhadap wartawan sebanyak 41, lalu naik menjadi 61 pada 2022, selanjutnya pada 2023 (hingga November) jumlahnya mencapai 76 kasus.
Total jumlah kasus kekerasan terhadap wartawan cukup mencengangkan. Menurut data AJI, sejak 2006, terdapat 763 kasus. Bahkan sebanyak 10 wartawan terbunuh sejak 1996. Pelaku kekerasan adalah orang tak dikenal atau tidak bisa diidentifikasi, polisi, anggota TNI, aparat pemerintah, ormas, partai politik, perusahaan, dan masyarakat.
Ada dugaan kasus-kasus semacam ini terus terjadi karena kurangnya tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Sering kali pengusutan hukum dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak berjalan dengan baik. Lemahnya penegakan hukum ini membuat kebebasan pers berada dalam ancaman besar. Kultur impunitas membuat jurnalis selalu berpotensi menjadi korban yang tak bisa melawan.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis NTT yang kini ditangani polisi berpotensi mengalami nasib serupa. Identitas pelaku kasus kekerasan yang dialami Ferdi Talok dan Edy Bau sampai kini tak kunjung terungkap. Kepala Kepolisian Resor Belu Ajun Komisaris Besar Richo Nataldo Devallas Simanjuntak justru membantah adanya teror dan intimidasi terhadap mereka. Polisi yang seharusnya bergerak cepat memburu pelaku malah sibuk mencoba menegasikan kasus yang sudah terjadi.
Padahal, di luar ancaman kekerasan fisik seperti itu, wartawan masih menghadapi berbagai ancaman kriminalisasi dari banyak peraturan yang tumpang-tindih. Sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, misalnya, berpotensi menjerat wartawan dalam kerja jurnalistik. Demikian juga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kabar baiknya, sejak 2022, Dewan Pers dan Polri sudah memiliki perjanjian kerja sama tentang pelindungan kemerdekaan pers. Isinya: kesepakatan bahwa sengketa pemberitaan harus diselesaikan lewat mekanisme yang diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Tentu butuh kerja keras mengedukasi dan mensosialisasi regulasi ini kepada segenap lapisan masyarakat. Namun ini jelas langkah maju dalam upaya pelindungan jurnalis.
Hasil survei Dewan Pers terhadap 408 orang insan pers di 34 provinsi ditambah 10 narasumber ahli menunjukkan bahwa Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia 2023 menurun 6,30 poin dari tahun lalu, dari 77,88 menjadi 71,57. Meski tetap dalam kategori “cukup bebas”, angka itu masih jauh dari ideal, yakni 90-100 untuk kategori bebas. Menurut Dewan Pers, kekerasan dan kriminalisasi wartawan masih menjadi hambatan naiknya indeks kemerdekaan pers.
Karena itulah, pelindungan maksimal terhadap wartawan menjadi keniscayaan. Semua pihak perlu memahami dan menghormati kerja jurnalistik. Aparat penegak hukum tidak boleh diam jika ada jurnalis yang menjadi korban kekerasan. Pelakunya harus dikejar dan mendapat tindakan hukum. Hanya dengan cara itu, kultur impunitas bisa dikikis dan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak menguap begitu saja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo