Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
KEMBALI ditemukannya fasilitas mewah bagi narapidana korupsi menunjukkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tak pernah bersungguh-sungguh membereskan persoalan lembaga pemasyarakatan. Seolah-olah diperbaiki, masalah tersebut disembunyikan dari publik rapat-rapat hingga suatu saat ada orang luar yang memergokinya. Presiden Joko Widodo harus menindak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly karena insiden berulang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sulit berharap pada inspektorat kementerian, yang mestinya melakukan pengawasan internal. Fasilitas mewah di penjara dan perlakuan berbeda terhadap narapidana berduit justru ditemukan oleh instansi lain. Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan praktik itu di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Badan Narkotika Nasional pernah mendapatinya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Terakhir, pada Sabtu dan Ahad lalu, Ombudsman RI juga menemukannya di Cipinang dan Lembaga Pemasyarakatan Cibinong, Bogor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Deretan kasus tersebut menunjukkan pengawasan inspektorat tumpul. Bila Menteri Yasonna Laoly punya niat baik, selain memperbaiki pengawasan oleh anak buahnya, mestinya dia menggandeng lembaga lain untuk mengawasi penjara. Kementerian harus terbuka dan legawa dalam kerja sama itu, tak boleh menutup-nutupi perkara atau mempersulit pengawasan. Inspeksi pun jangan hanya dilakukan bila ada laporan masuk, melainkan diadakan secara rutin.
Di luar itu, akar persoalannya adalah tidak adanya standar fasilitas minimum yang berlaku bagi semua napi, seperti kapasitas kamar, makanan, hingga sanitasi. Fasilitas penjara yang buruk mendorong napi berduit mengadakan sendiri kebutuhannya, yang kemudian merembet ke pengadaan fasilitas yang dilarang ada di penjara dengan menyogok kepala penjara dan sipir. Fakta inilah yang terjadi di penjara yang menyediakan fasilitas mewah bagi terpidana.
Dengan membayar Rp 200-500 juta per bulan kepada pengelola penjara seperti temuan KPK pada 2018, misalnya, narapidana korupsi di Sukamiskin bisa mendapatkan fasilitas yang tak bisa dinikmati narapidana umum.
Semestinya tak ada perlakuan berbeda bagi setiap narapidana. Perlakuan istimewa terhadap narapidana korupsi berarti diskriminasi bagi terpidana kasus lain-seolah-olah hukum pilih kasih. Padahal hakikat pemidanaan adalah mencabut sementara kemerdekaan siapa saja yang melakukan kejahatan tanpa pandang bulu.
Kementerian Hukum biasanya berdalih bahwa penyebab utama buruknya pengelolaan penjara adalah kelebihan penghuni. Justru dengan memberi keistimewaan kepada narapidana korupsi untuk menempati sel yang lebih luas sendirian, Kementerian sendiri yang mengungkap lemahnya dalih tersebut. Di sel lain, narapidana perkara lain-yang tak bisa membeli fasilitas-tinggal berjubel. Semestinya sel yang lebih luas dan ditempati sendirian itu bisa dihuni juga oleh narapidana lain.
Sejauh ini Kementerian Hukum gagal mencegah kasus tersebut berulang. Kementerian baru merespons bila perkara sudah diketahui khalayak. Jalan keluarnya pun biasanya insidental: merotasi kepala penjara atau pegawai yang dianggap bertanggung jawab sembari menunggu berita reda. Kementerian tak melakukan perbaikan mendasar untuk mencegah perkara serupa terulang. Misalnya dengan menghilangkan blok khusus napi korupsi agar praktik jual-beli fasilitas bisa diakhiri.