Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim Pengadilan Negeri Pasarwajo, Buton, Sulawesi Tenggara, harus membebaskan Mohammad Sadli Saleh dari jerat pidana. Wartawan Liputanpersada.com itu tidak sepantasnya didakwa mencemarkan nama dan menebar kebencian gara-gara menulis editorial yang mengkritik pemerintah setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sadli ditahan dan menjalani persidangan setelah menulis editorial tentang proyek penataan Simpang Lima Labungkari di Buton Tengah. Dalam tulisan berjudul "Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap Menjadi Simpang Empat" itu, Sadli menulis dugaan penggelembungan anggaran proyek pembangunan persimpangan jalan Labungkari dari Rp 4 miliar menjadi Rp 6,8 miliar, yang tidak transparan dan tanpa perencanaan matang. Persimpangan jalan yang seharusnya terdiri atas lima ruas itu, menurut Sadli, dibangun empat ruas alias simpang empat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menanggapi tulisan yang juga tersebar di media sosial tersebut, Bupati Buton Tengah Samahudin mengadukan Sadli ke kepolisian. Polisi lantas menahan Sadli dan menjeratnya dengan sejumlah pasal pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni pasal pencemaran nama serta penyebaran informasi untuk menimbulkan kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Kasus Sadli kemudian maju ke persidangan. Jaksa memakai pasal-pasal yang sama dalam dakwaan primer-sekundernya.
Bupati Buton Tengah seharusnya menerima kritik Sadli dengan sikap terbuka, bukan dengan pengaduan pidana. Sebagai pejabat publik, bupati wajib menyikapi kritik dari publik, termasuk media massa, sebagai masukan yang konstruktif. Pelaporan Sadli ke kepolisian mencerminkan sikap penguasa yang represif, bukan pamong praja yang akomodatif terhadap aspirasi publik.
Sejak awal, penegak hukum pun sudah salah langkah. Penyidik kepolisian seharusnya mengarahkan Bupati Buton Tengah yang berkeberatan atas tulisan Sadli untuk memakai hak jawab, hak koreksi, atau mengadu ke Dewan Pers, seperti tercantum dalam nota kesepahaman (MoU) antara Kepolisian RI dan Dewan Pers pada 2017. Terlebih lagi, Dewan Pers sudah menyatakan tulisan Sadli adalah karya jurnalistik dalam bentuk opini. Artinya, penyelesaian masalah ini seharusnya merujuk pada mekanisme dalam Undang-Undang Pers, bukan Undang-Undang ITE.
Kasus Sadli menambah panjang daftar kriminalisasi terhadap jurnalis, yang menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencapai lima kasus pada Januari-Desember 2019. Karena kriminalisasi terus berulang, sulit dipercaya bahwa hal itu hanya buah dari ketidakpahaman para pejabat dan penegak hukum atas mekanisme penyelesaian sengketa pers. Sebaliknya, ada indikasi kuat bahwa para penegak hukum mengabaikan pasal-pasal dalam Undang-Undang Pers untuk menangani perkara yang berkaitan dengan pemberitaan. Penggunaan Undang-Undang ITE yang lebih represif menjadi cara untuk menekan sikap kritis jurnalis dan masyarakat.
Menghadapi pejabat dan penegak hukum yang kian represif, wartawan seharusnya tidak mengendurkan perannya dalam mengawasi tindak-tanduk para pemegang kekuasaan. Agar tak mudah diserang balik, jurnalis tentu saja perlu pasang kuda-kuda yang lebih kuat: terus meningkatkan kapasitas serta berpegang teguh pada kode etik. Publik selalu memerlukan kehadiran jurnalis yang bersikap kritis dan etis.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 10 Febuari 2020