Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLISI sebetulnya sudah memiliki cukup alasan menghentikan penyidikan perkara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Bambang Widjojanto. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) telah memutuskan Bambang tak melanggar kode etik advokat. Ia dinyatakan tak terbukti mengarahkan saksi memberi keterangan palsu dalam sidang sengketa pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, di Mahkamah Konstitusi, pada 2010.
Dengan putusan itu, polisi semestinya tak perlu lagi melanjutkan kasus tersebut. Tim pengawas Peradi sudah memeriksa beberapa saksi yang juga pernah dipanggil polisi. Lembaga yang melindungi profesi advokat itu juga mendapat pengaduan dari orang yang sama dengan pelapor Bambang ke Badan Reserse Kriminal Polri. Bila secara etik tak melanggar, bagaimana mungkin seseorang bisa dinyatakan bersalah secara hukum?
Peradi memang hanya berwenang memeriksa pelanggaran etik. Wilayah pidana ada di tangan polisi. Tapi tuduhan pidana yang menyebut Bambang turut mengarahkan pemberian keterangan palsu jelas termasuk lingkup dugaan pelanggaran kode etik advokat, yang merupakan ranah Peradi. Dari pemeriksaan tim pengawas Peradi, tak satu pun saksi yang mengetahui ada pemberian keterangan yang direkayasa oleh Bambang. Pengadu bahkan tak tahu persis kalimat yang disampaikan Bambang ketika menyuruh orang bersaksi palsu di Mahkamah.
Polisi tak boleh mengabaikan fakta itu. Mereka juga mesti mafhum bahwa Bambang saat itu bertindak sebagai advokat, yang dilindungi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-undang ini memberi penekanan bahwa profesi advokat sama terhormatnya dengan polisi, jaksa, atau hakim. Secara lebih khusus Pasal 16 menyebutkan bahwa advokat tak bisa dituntut secara pidana atau perdata ketika menjalankan tugas profesinya membela klien dalam sidang.
Bambang, yang sedang bersidang di Mahkamah, pantas mendapat jaminan perlindungan profesi seperti diamanatkan undang-undang itu. Apalagi selama ini ia dikenal sebagai pengacara yang memiliki integritas. Tapi, jika undang-undang yang menjadi tempat bernaung para advokat saja begitu gampang diabaikan, apa lagi yang tersisa dari kehormatan dan martabat seorang pembela hak hukum klien?
Kepolisian juga telah menandatangani nota kesepahaman dengan Peradi tentang Proses Penyidikan yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Profesi Advokat pada 2012. Pasal 3 ayat 1 nota itu menyebutkan bahwa proses pemanggilan penyidik kepada advokat yang menjalankan profesinya harus melalui Peradi. Dalam banyak kasus sebelumnya, polisi mengikuti kesepakatan dalam nota kesepahaman itu. Tapi, anehnya, Bareskrim Polri mendadak lupa melongok nota tersebut ketika menangkap dan menyidik Bambang.
Lebih dari sekadar menabrak aspek legalitas, penangkapan Bambang telah melanggar hak asasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga menyebutkan telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam upaya paksa itu. Operasi tersebut, misalnya, dilakukan bukan oleh struktur resmi Bareskrim. Penangkapan, pemeriksaan, juga upaya penahanan Bambang yang kemudian batal, justru lebih tampak sebagai upaya kriminalisasi pemimpin KPK ketimbang penanganan kasus hukum biasa.
Dengan sejumlah alasan itu, sungguh tak senonoh jika polisi tetap memaksa melimpahkan kasus Bambang ke kejaksaan. Polisi justru akan terlihat bermartabat jika menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan kasus yang selama ini dinilai penuh rekayasa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo