Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membuka tabir gelap dari kebijakan sektor perikanan di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Operasi tangkap tangan terjadi tepat di tengah gencarnya kritik terhadap kebijakan ekspor benih lobster yang diterapkan kementerian tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Edhy ditangkap KPK di Bandara Soekarno-Hatta, sepulang dari lawatannya ke Amerika Serikat, Rabu dinihari lalu. Politikus Partai Gerindra itu ditangkap bersama 16 orang lainnya, yang diduga terkait dengan kasus jual-beli kuota ekspor benih lobster. Kebijakan pembukaan keran ekspor benih lobster memancing polemik karena bertolak belakang dengan langkah Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya, Susi Pudjiastuti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Temuan praktik suap yang berakhir dengan penangkapan Edhy sudah seharusnya diusut tuntas sampai ke pengadilan. Jangan sampai bukti telak yang didapat penyidik KPK berakhir antiklimaks karena dimentahkan dengan cara mencari kesalahan prosedural, seperti sejumlah kasus operasi tangkap tangan sebelumnya.
Penangkapan ini sesungguhnya bisa menjadi pintu masuk ideal untuk mengusut tuntas praktik kongkalikong di balik kebijakan dibukanya keran ekspor benih bening lobster alias benur. Banyak kejanggalan dalam ide dan pelaksanaan aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 itu, yang ditetapkan pada 5 Mei lalu untuk mengganti Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016.
Sejumlah kejanggalan sudah terungkap dalam kebijakan pembukaan ekspor benih lobster. Investigasi majalah Tempo pada Juli lalu menemukan anyir kronisme yang kental dalam aturan tersebut. Sebab, di antara perusahaan yang mendapat izin ekspor benur itu, ditemukan para eksportir yang berjejaring dengan partai, termasuk dengan Gerindra, partai asal sang menteri.
Para eksportir itu diduga telah mengakali syarat yang ditetapkan. Banyak dari mereka yang sudah melakukan ekspor benur tanpa lebih dulu membudidayakan lobster dan melepas sebagian hasilnya ke alam, seperti disyaratkan peraturan. Buktinya, baru beberapa bulan peraturan disahkan, ekspor benih lobster langsung melambung.
Harapan membantu nelayan juga tak kesampaian. Kebijakan ini lebih banyak menguntungkan para eksportir yang dekat dengan politikus ketimbang nelayan kecil. Sebab, setelah mendapat kuota, para eksportir itu menyedot keuntungan dari para nelayan penangkap benur. Sebagian besar dari mereka membeli satu ekor benur nelayan hanya seharga Rp 5.000-15 ribu. Kemudian, di luar negeri, mereka bisa menjualnya dengan harga hingga Rp 65 ribu per ekor.
Tertangkapnya Edhy Prabowo harus menjadi momentum yang tepat bagi Presiden Jokowi untuk melakukan pembenahan total. Selain segera mencopotnya, langkah penting berikutnya adalah membatalkan kebijakan ekspor benih lobster. Selain mendatangkan banyak mudarat, kebijakan ekspor itu terbukti menjadi ajang para pemburu rente mencari untung besar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo