Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru tujuh hari setelah tahun berganti, polisi sudah menambah panjang daftar pelanggaran kebebasan berekspresi. Polisi menangkap aktivis Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka) Padang, Sudarto. Selain menggunakan Pasal 28 dan 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan pasal karet, tuduhan terhadap pria berusia 45 tahun ini juga terkesan mengada-ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sumatera Barat menangkap Sudarto pada Selasa lalu di kantor Pusaka Padang. Ia menjadi tersangka atas tuduhan melakukan tindak pidana ujaran kebencian dan menyebarkan berita bohong di akun Facebook-nya pada 14 Desember 2019. Ketika itu, Sudarto mengunggah pernyataan perihal adanya pelarangan kegiatan ibadah Natal bagi umat Katolik di Jorong Kampung, Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Seorang pemuda di Jorong Kampung Baru, Dharmasraya, melaporkan Sudarto kepada polisi berkaitan dengan status di Facebook itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindakan penangkapan Manajer Program Pusaka tersebut menunjukkan arogansi polisi menggunakan kewenangannya untuk membungkam kritik dan pembelaan terhadap kelompok minoritas. Apa pun motifnya, langkah polisi itu merupakan serangan langsung dan terbuka terhadap pembela hak-hak konstitusional kelompok minoritas. Sudarto selama ini aktif melakukan advokasi kepentingan kelompok minoritas di Sumatera Barat.
Penangkapan Sudarto bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah untuk memperkuat toleransi, melindungi kelompok minoritas, serta menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Polisi semestinya mendukung advokasi dan pembelaan Sudarto terhadap kaum minoritas yang dijamin konstitusi, bukan melakukan tindakan sebaliknya yang bertentangan dengan spirit toleransi. Seharusnya pihak yang ditindak secara hukum oleh polisi adalah mereka yang menghalang-halangi kelompok minoritas dalam menjalankan kegiatan ibadahnya. Perkara Sudarto ini mencerminkan politik perlindungan minoritas yang buruk.
Karena itu, Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis harus segera memerintahkan Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Toni Harmanto, yang baru dilantik pada pertengahan Desember lalu, menghentikan perkara yang menjerat Sudarto dan segera membebaskannya dari tahanan. Kepolisian juga harus berbenah dalam menangani urusan semacam ini dan melindungi kebebasan berekspresi. Tahun lalu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan ada sedikitnya 1.384 kasus pelanggaran kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi. Kepolisian disebut sebagai instansi yang paling banyak melakukan pelanggaran.
Kasus serupa tidak boleh terulang. Pemerintah dan aparat keamanan di berbagai tingkatan wajib menjamin kebebasan beragama setiap warganya. Amanat konstitusi seperti yang tercantum dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sudah sangat jelas mengatur bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Aktivis seperti Sudarto, yang justru memperjuangkan kebebasan ini dan menyuarakan hak-hak kaum minoritas, harus dilindungi, bukan justru ditangkap.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 09 Januari 2020