Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) pada 2018 dimulai dengan posisi netral. Suku bunga acuan (BI Repo Rate) melandai pada level 4,25 persen selama lima bulan terakhir. Inflasi yang terkendali pada tingkat rendah menjadi alasan BI mengambil sikap tidak mengubah suku bunga acuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Lazimnya, BI menaikkan suku bunga acuan apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran. Sebaliknya, BI memotong suku bunga itu apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran. Intinya, inflasi sasaran menjadi jangkar bagi penentuan suku bunga acuan.
Skema kerja di atas menjadi amanat Undang-Undang Bank Sentral bahwa tugas utama BI adalah menjaga stabilitas rupiah. Kestabilan nilai rupiah diukur terhadap harga barang dan jasa yang tecermin pada inflasi. Secara eksternal, kestabilan nilai rupiah diukur terhadap mata uang negara lain yang tecermin pada perkembangan nilai tukar.
Walhasil, pemangkasan suku bunga acuan sudah berakumulasi 200 basis poin. Namun nilai tukar rupiah masih saja fluktuatif. Secara teoretis, jika pergerakan inflasi terjaga, suku bunga acuan akan stabil, sehingga nilai tukar juga akan "tenang".
Dengan logika ini pula, kenaikan laju inflasi seharusnya sebanding dengan laju depresiasi. Faktanya, selama enam tahun terakhir, total pelemahan rupiah mencapai 42 persen, sementara inflasi mencapai 30 persen.
Ketidaksepadanan antara derap inflasi dan depresiasi ini bisa jadi karena BI tidak secara eksplisit mematok nilai tukar sasaran sebagai jangkarnya. Artinya, BI tidak memiliki rujukan yang kokoh kapan nilai tukar rupiah dikatakan mengalami tekanan dan kapan pula tekanan terhadap nilai tukar mengendur.
Tidak adanya nilai tukar ancangan membuat pelaku ekonomi kesulitan dalam mengambil keputusan bisnisnya. Pelaku pasar uang di sektor finansial secara psikologis menjadi jauh lebih responsif terhadap setiap pergerakan nilai tukar guna mengamankan portofolio asetnya.
Ketiadaan nilai tukar sasaran juga menjadi kendala bagi pelaku ekonomi di sektor riil. Sebagian besar bahan baku industri masih diimpor. Lebih dalamnya depresiasi relatif terhadap inflasi membuat industri yang berbasis bahan baku impor kesulitan menaikkan harga jual setara dengan kenaikan beban bahan baku impornya.
Eksportir pun menghadapi persoalan yang sama. Dengan depresiasi rupiah, produk ekspor cepat terserap di pasar global. Namun daya saing akan luntur tatkala negara pesaing berhasil meningkatkan efisiensi. Agar kembali laku, harga ekspor harus diturunkan, yang sama saja artinya dengan mendevaluasi kembali rupiah.
Komplikasi muncul saat stabilitas inflasi dan nilai tukar hendak dicapai berbarengan. Keterkaitan inflasi dan kurs terangkum dalam Exchange Rate Pass Through (ERPT), indikator pengukur perubahan nilai tukar terhadap harga domestik. Banyak riset empiris menyimpulkan bahwa derajat ERPT rupiah sangat lemah. Artinya, pergerakan nilai tukar rupiah tidak terwakili sepenuhnya oleh fluktuasi inflasi.
Dengan konfigurasi masalah di atas, beban BI Repo Rate dalam mengawal rupiah semakin berat. BI tidak bisa lagi menggantungkan semata-mata hanya pada suku bunga acuan tanpa menggunakan instrumen lain sebagai komplemennya. Untuk mengendalikan gejolak nilai tukar, BI harus mengintervensi pasar valuta asing.
Intervensi pasar hanya bisa dilakukan jika BI memiliki cukup cadangan devisa. Namun posisi cadangan devisa Indonesia relatif kecil untuk ukuran pasar valuta asing. Lagi pula, dalam rezim sistem devisa bebas, cadangan valuta asing lebih banyak dipegang masyarakat umum daripada BI.
Agaknya, BI perlu berkaca dari pengalaman negara lain. Negara yang mengadopsi "ketat" dalam menjaga inflasi sesuai dengan target, dalam praktiknya malah "fleksibel" terhadap nilai tukar. Frekuensi intervensi di pasar valuta asing menjadi lebih sering dan lebih sensitif terhadap pergerakan nilai tukar riil.
Kenyataan di atas memperlihatkan bahwa, dalam memelihara stabilitas nilai rupiah, BI terbelenggu oleh trinitas kemustahilan. Stabilitas nilai tukar, kebijakan moneter yang longgar, dan rezim devisa bebas adalah tiga target yang mustahil untuk dicapai sekaligus. Senantiasa terjadi imbang korban (trade-off) bahwa, untuk meningkatkan suatu hal, kita harus mengorbankan hal lain.
Indonesia kini mengadopsi rezim devisa bebas. Agar rupiah tidak terdepresiasi tajam, mau tidak mau kebijakan moneter harus ketat. Opsinya adalah menaikkan suku bunga acuan, membiarkan inflasi sedikit lebih tinggi, atau terus-menerus mengintervensi pasar valuta asing.
Tanpa melonggarkan salah satu opsi, banyak energi tersedot hanya untuk meredam gejolak, alih-alih menyasar akar masalahnya. Walhasil, BI Repo Rate menghadapi tantangan kredibilitas bagi sektor finansial dan sektor riil di tengah tendensi bank sentral di seluruh dunia melakukan pengetatan moneter.