Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGHADAPI kelembaman ekonomi akibat krisis global, pemerintah mestinya memainkan dua pemungkas: stimulus fiskal dan pembiayaan perbankan. Stimulus fiskal sudah lumayan ampuh. Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 4 persen pada tahun ini, pemerintah sudah menaikkan defisit anggaran dari Rp 51,3 triliun ke Rp 139,5 triliun, atau melonjak dari 1 persen menjadi 2,5 persen dari produk domestik bruto. Dari jumlah itu, Rp 73,3 triliun akan digunakan sebagai belanja pemerintah.
Sayangnya, pembiayaan perbankan malah terancam tumpul. Alih-alih mereka jadi lincah menyalurkan kredit, data Bank Indonesia memperlihatkan gerak perbankan nasional justru melengai. Dana pihak ketiga, yang pada Desember 2008 tercatat Rp 1.753,3 triliun, turun menjadi Rp 1.745,6 triliun per Januari 2009. Penyaluran kredit merosot dari Rp 1.353,6 triliun per Desember 2008 menjadi Rp 1.325,3 triliun pada Januari 2009.
Lesu ekonomi membuat perbankan semakin tertekan, karena para debitor kehilangan kemampuan membayar utang. Hal itu terlihat dari meningkatnya rasio kredit seret perbankan nasional. Pada Desember 2008, rasio itu baru 3,8 persen, tapi pada Januari 2009 telah naik menjadi 4,2 persen.
Semua indikator perbankan itu terus berkejaran di dalam lingkaran setan. Ancaman ketidakpastian ekonomi global membuat perbankan enggan menurunkan bunga pinjaman. Untuk menjaga likuiditas, mereka mematok tinggi bunga deposito. Padahal, untuk menggairahkan perekonomian tentu diperlukan suku bunga rendah.
Dua pekan lalu, Gubernur Bank Indonesia sudah mengumpulkan sejumlah bankir dan mengimbau mereka menurunkan suku bunga. Bank Indonesia sendiri sudah menurunkan suku bunga acuan secara drastis menjadi 7,75 persen. Tapi kemakbulan imbauan itu belum terlihat nyata. Sampai saat ini bunga pinjaman masih berkisar 14-17 persen. Perbankan beralasan bunga kredit tinggi lantaran bunga deposito masih sekitar 11 persen. Bila perbankan terus berada dalam perangkap suku bunga, bisa dipastikan target pertumbuhan ekonomi 4 persen akan sulit dicapai.
Padahal data Bank Indonesia yang lain menunjukkan ketahanan perbankan kita sesungguhnya relatif masih baik. Rata-rata rasio kecukupan modal mereka masih cukup tinggi, yaitu 16,2 persen, jauh di atas persyaratan minimal 8 persen. Berdasarkan hasil stress test bank sentral, permodalan sebesar itu masih mampu menyerap berbagai jenis risiko seperti suku bunga, nilai tukar, likuiditas, dan kredit.
Likuiditas yang selama ini menjadi momok perbankan sebetulnya bisa pula diatasi bila bankir kreatif mencari pilihan akses pendanaan lain di luar deposito. Mereka, misalnya, bisa pergi ke pasar uang antarbank. Aliran dana di pasar ini sekarang mulai lancar, ditandai dengan suku bunga pinjaman semalam (overnight) yang terus turun di kisaran 7,6-7,8 persen. Pemerintah bisa membuat aliran dana ini makin lancar dengan membentuk pooling fund dan menjadi penjamin pinjaman di pasar tersebut.
Jika bankir gagal memperoleh pinjaman dari pasar uang antarbank, masih ada pilihan lain. Mereka bisa mendapatkan likuiditas dengan merepo surat berharga—seperti Sertifikat Bank Indonesia dan obligasi negara—atau aset kredit ke Bank Indonesia. Seandainya sistem pendukung perbankan itu berfungsi dengan baik, persoalan likuiditas sesungguhnya bisa diatasi. Selanjutnya, lingkaran setan perangkap suku bunga tinggi bisa diputus. Dan bank dapat menjalankan fungsinya menyalurkan kredit ke sektor riil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo