Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Salah Rekonsiliasi dengan Tim Mawar  

Pengangkatan dua jenderal eks anggota Tim Mawar sebagai pejabat eselon I Kementerian Pertahanan menunjukkan buruknya perspektif hak asasi manusia di level tertinggi pemerintahan.

30 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Gagasan Presiden Joko Widodo soal rekonsiliasi nasional tampaknya terlampau visioner untuk zamannya. Ketika banyak korban dan aktivis hak asasi manusia menuntut penegakan hukum dan penghentian impunitas bagi pelanggar HAM, Presiden justru menyetujui usul Kementerian Pertahanan untuk mengangkat dua pejabat eselon I yang memiliki catatan buruk sebagai penculik aktivis dan mahasiswa pada 1998.

Dua pejabat yang dipersoalkan adalah Brigadir Jenderal Dadang Henda Yudha, yang diangkat sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan; dan Brigadir Jenderal Yulius Selvanus, yang kini menjadi Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan. Keduanya adalah bagian dari Tim Mawar di Grup IV/Sandi Yudha pada Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat. Pada 2007, Mahkamah Militer menilai Dadang dan Yulius terbukti terlibat penculikan aktivis prodemokrasi pada periode 1997-1998 dan menjatuhkan hukuman kurungan masing-masing 16 bulan dan 30 bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan riwayat semacam itu, tak ada presiden yang berani menyetujui usul promosi jabatan buat eks tim Mawar di Kementerian Pertahanan, kecuali Jokowi. Persetujuan Presiden untuk pengangkatan Dadang dan Yulius menunjukkan sikap tegas Presiden untuk mengubur dalam-dalam, bukan mengusut tuntas, kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada era Orde Baru.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak hanya itu. Pemberian jabatan penting di Kementerian Pertahanan kepada dua tentara eks anggota Tim Mawar menegaskan sikap pemerintah bahwa penegakan hak asasi manusia bukanlah program prioritas saat ini. Jadi khalayak ramai tak usah repot-repot menagih janji kampanye Jokowi soal ini. Situasi sudah berubah.  

Dengan merestui promosi tersebut, Presiden Joko Widodo mengirim sinyal jelas bahwa pelanggar HAM tak perlu khawatir bakal dihukum berat jika kejahatannya terbukti. Kultur impunitas akan terus dijaga. Sinyal ini konsisten dengan sikap pemerintah pada beberapa insiden sebelumnya. Lihat saja penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam aksi demonstrasi mahasiswa #ReformasiDikorupsi pada September 2019. Meski jelas ada mahasiswa yang tewas tertembak, sampai kini rantai komando pelaku belum diusut tuntas. Temuan Komisi Nasional HAM yang menyebutkan aksi represif aparat keamanan dalam aksi unjuk rasa itu telah melanggar sejumlah hak dasar rakyat juga tak diindahkan sampai sekarang. 
 
Publik sebenarnya tak perlu terlalu terkejut melihat kebijakan pemerintah ini. Kecenderungan itu sudah terbaca ketika Jokowi meminta eks rivalnya dalam dua pemilihan presiden terakhir, Prabowo Subianto, menjadi Menteri Pertahanan. Semua orang tahu, Prabowo adalah Komandan Jenderal Kopassus ketika rangkaian penculikan aktivis terjadi pada 1998. Dia diberhentikan dari dinas militer karena keterlibatannya dalam penculikan mahasiswa dan aktivis. Insiden promosi Tim Mawar ini hanya menegaskan kembali buruknya perspektif HAM di kepala para pejabat kita.

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus