Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pelajaran Penting dari Garuda

Jika tak mau terus merugi, Garuda Indonesia harus segera menghentikan sewa pesawat Bombardier CRJ1000 NextGen. Bermasalah sejak awal.

11 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalau mau selamat, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk harus segera mengakhiri sewa Bombardier CRJ1000 NextGen. Delapan belas pesawat bikinan Kanada itu lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat. Jika sewa tak segera disetop, keuangan perusahaan publik yang tahun lalu sudah merugi Rp 32 triliun itu bisa makin tak keruan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak awal, pemilihan pesawat berkapasitas 96 penumpang ini sudah janggal. Garuda sebenarnya punya opsi menyewa pesawat jenis Embraer E190 dari Brasil, ketika manajemen badan usaha milik negara itu hendak mengganti armada Boeing 737-500 miliknya pada 2011. Tim penilai Garuda menyatakan Embraer unggul di hampir semua parameter, dari performa hingga kepuasan penumpang. Namun Direktur Utama Garuda ketika itu, Emirsyah Satar, malah memilih Bombardier. Belakangan kita tahu, Emirsyah disogok US$ 200 ribu. 

Walhasil, Garuda pun mendatangkan Bombardier CRJ1000 NG sejak 2012. Kini, Garuda punya enam unit, sisanya sewa dari Nordic Aviation Capital yang berbasis di Denmark. Sejak hari pertama kedatangannya, pesawat-pesawat ini tak habis-habisnya mendatangkan masalah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama, pesawat berbadan sempit ini butuh landasan minimal 2.120 meter untuk lepas landas. Padahal spesifikasi itu tak ada di bandara kecil di Indonesia. Dengan panjang 39,1 meter, bodi CRJ1000 lebih panjang ketimbang pesawat 737-500 dan E190. Jarak antar-roda pun paling jauh. Dampaknya, pesawat ini tak bisa dipakai di bandara kecil meski diplot untuk melayani jalur perintis.

Tak hanya itu. Pesawat CRJ1000 ini memiliki kapasitas kabin paling kecil dibanding 737-500 yang bisa membawa 122 penumpang atau jenis E190 dengan 116 penumpang. Bagasi pesawat ini pun paling mini: 19,4 meter kubik. Ini tak cocok dengan karakter penumpang Indonesia yang dikenal kerap membawa seabrek oleh-oleh dari perjalanan jauh.

Pengadaan Bombardier juga membebani anggaran perawatan pesawat Garuda. Mereka membutuhkan tambahan teknisi dan biaya karena selama ini hanya biasa merawat Boeing dan Airbus. Situasi makin rumit ketika Bombardier menghentikan produksi CRJ1000 NG pada 2014. Hal ini membuat suku cadang pesawat tersebut sulit dicari.

Akibat kekeliruan fatal ini, Garuda kehilangan US$ 30 juta—setara dengan Rp 419,3 miliar—per tahun. Sebagian besar kerugian itu datang dari beban sewa selusin pesawat Bombardier sebesar US$ 27 juta atau sekitar Rp 377,4 miliar. Kerugian menumpuk sejak 2017 dan baru dibongkar sekarang.  

Keputusan Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra untuk menghentikan kontrak sewa Bombardier, yang seharusnya berlangsung hingga 2027, sudah benar. Kerugian beruntun dan kasus hukum yang melilit pengadaan CRJ1000 NG sepuluh tahun lalu merupakan alasan kuat untuk pembatalan sewa. Apalagi kasus ini sudah disidik Komisi Pemberantasan Korupsi dan Serious Fraud Office Inggris sejak November 2020.

Memang, jika kontrak diakhiri, Garuda bisa terancam denda. Namun nilainya pasti tidak akan sebesar kerugian yang diderita maskapai itu jika tetap memakai Bombardier. Menghentikan sewa pesawat ini merupakan keputusan bisnis yang rasional.  

Sengkarut seputar Bombardier ini harus menjadi pelajaran bagi Garuda dan badan usaha milik negara lainnya. Tata kelola perusahaan yang jujur, transparan, dan akuntabel tak boleh ditawar-tawar. Prinsip antikorupsi harus menjadi rujukan dari level pejabat tertinggi. Kelalaian soal ini bisa bikin perusahaan bangkrut. Cerita pilu Garuda yang harus menanggung kerugian ratusan miliar rupiah akibat ulah tak terpuji pemimpinnya tak boleh terulang.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Reza Maulana

Reza Maulana

Bergabung dengan Tempo sejak 2005 setelah lulus dari Hubungan Internasional FISIP UI. Saat ini memimpin desk Urban di Koran Tempo. Salah satu tulisan editorialnya di Koran Tempo meraih PWI Jaya Award 2019. Menikmati PlayStation di waktu senggang.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus