Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah melarang penjualan sejumlah barang impor lewat platform perdagangan online atau e-commerce tak boleh berhenti sebatas pencitraan. Kebijakan pemerintah untuk melindungi produk usaha kecil dan menengah (UKM) lokal harus berangkat dari prinsip-prinsip perdagangan yang sehat dan adil (fair trade) serta diterapkan pada semua perusahaan e-commerce tanpa terkecuali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini memang santer beredar kabar soal masifnya aksi beberapa perusahaan penyedia e-commerce yang justru menjadi kanal pemasaran barang impor ke Indonesia. Dengan dukungan modal jumbo para investor besar dan skala operasi lintas negara, perusahaan e-commerce ini mensubsidi biaya kirim produk asing, terutama dari Cina, sehingga konsumen lokal bisa membeli produk itu dengan harga jauh lebih murah dibanding produk lokal di dalam negeri.
Para pengelola pasar digital ini berharap praktik bakar uang dengan diskon biaya kirim semacam ini bisa mendongkrak animo konsumen dan melipatgandakan jumlah pengguna aktif platformnya. Masalahnya, jika tak segera diatur, dalam jangka waktu tak terlalu lama, masifnya perdagangan barang impor lewat e-commerce ini berpotensi membunuh para produsen produk lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pelaku UKM lokal jelas tak bakal mampu menjual produknya dengan harga semurah produk impor di e-commerce. Yang lebih memprihatinkan, banyak produsen di luar negeri yang sengaja meniru produk lokal yang laku, lalu memproduksinya dengan skala industri yang lebih efisien. Produk itu lalu kembali dipasarkan di Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah dari produk aslinya. Praktik plagiarisme seperti ini sulit diberantas karena kebanyakan produsen lokal dengan skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tak memiliki merek atau paten yang bisa melindungi hak intelektualnya.
Praktik predatory pricing semacam itu memang merupakan salah satu bentuk kecurangan yang semakin marak di tengah masifnya arus perdagangan lintas negara. Sungguh ironis jika platform e-commerce yang awalnya diharapkan bisa memfasilitasi pemasaran produk UMKM dan mempermudah aktivitas belanja masyarakat malah menjadi pelaku praktik dagang tak adil ini.
Sepintas, konsumen mungkin merasa diuntungkan. Tapi mereka kerap tak sadar bahwa harga murah yang mereka nikmati tak bakal berlangsung selamanya. Setelah mencapai skala ekonomi dan dominasi pasar, perusahaan e-commerce umumnya bakal menghapus diskon dan subsidi. Pada akhirnya, harga barang yang mereka jual akan sama saja dengan produk lokal, atau bisa jadi lebih mahal.
Pemerintah jelas harus turun tangan. Regulasi penangkal praktik-praktik tak sehat semacam itu perlu segera disusun. Rencana Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi untuk menyusun regulasi anti-predatory pricing di platform e-commerce harus segera diwujudkan. Kementerian Perdagangan dan lembaga lain yang berwenang juga harus segera menginvestigasi praktik curang di e-commerce dan segera memaparkan hasilnya kepada publik. Hanya dengan cara itulah Indonesia bisa membangun iklim usaha yang sehat dan adil bagi semua perusahaan platform e-commerce, pelaku perdagangan online, serta produsen UKM lokal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo