Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Teror klitih atau kekerasan acak di jalanan Yogyakarta makin menakutkan karena tidak memiliki motif yang spesifik.
Para pelajar pelaku klitih biasanya memilih korban secara acak untuk membuktikan kelayakan mereka menjadi anggota geng preman.
Perlu ada kolaborasi semua pemangku kepentingan untuk mengatasi fenomena klitih dengan memberi ruang kebebasan berekspresi agar pelajar tak terjerumus dalam aksi kekerasan.
Teror klitih di Yogyakarta tak bakal bisa dihentikan dengan cara-cara konvensional. Menambah patroli polisi selepas tengah malam, atau membatasi pergerakan anak muda di jalan raya, hanya akan memicu pelaku teror mencari cara alternatif. Tanpa pemahaman mendasar soal pemicu teror klitih serta aksi bersama semua pemangku kepentingan, kejahatan jalanan yang marak sejak lima tahun yang lalu ini nyaris mustahil diberantas.
Urgensi untuk memotong akar fenomena klitih makin kuat karena Ahad dinihari lalu teror ini kembali memakan korban. Seorang pelajar bernama Daffa Adzin Albazith, 17 tahun, tewas di Gedongkuning, Yogyakarta, setelah kelompoknya bentrok dengan gerombolan anak muda lain. Kematian remaja itu memicu percakapan ramai di media sosial. Bukan hanya reputasi Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata yang dipertaruhkan, tapi juga keselamatan warganya sendiri. Keliru besar jika publik menilai korban aksi klitih hanyalah mereka yang tewas dan cedera ketika disergap di jalan. Korban terbesar dari teror klitih adalah kita semua: warga yang kehilangan rasa aman.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo