Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Tak bisa dicampur, perlu dialog

Agama memang tak bisa saling dicampur. percampuran sinkretis justru akan mereduksikan, lalu menekan kebenaran. tapi tak berarti tak ada dialog, dan tak bisa dipelajari dari agama yang berbeda-beda itu.

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH iringan jenazah, dari jauh. Muhammad s.a.w. berdiri, untuk menghormati. Ketika prosesi itu mendekat, seorang sahabat tiba-tiba menyadari sesuatu. Ia berkata, kurang lebih, "Tapi itu jenazah orang Yahudi." Tapi sang Nabi tetap tegak. Ia berkata, "Jika ada iringan jenazah lewat, berdirilah." Kita nampaknya memang harus menyadari kenyataan tentang kemanusiaan kita yang sama -- apa pun perbedaan ras, agama, golongan kita satu sama lain. Kemanusiaan yang sama pada batas kematian, pada bencana, rasa sedih dan mungkin juga kegembiraan. Seorang penyair berkata untuk semuanya ketika ia menyebut, "Di bawah kaki kebesaranMu." Kesadaran itu adalah benih yang indah dalam budi yang luhur --budi dalam arti reason dan moralitas. Ia sanggup menghibur kita ketika kita sedih menyaksikan rasa benci. Ia seperti pantulan cahaya, dari sumber terang entah di mana, ketika kita hampir putus asa di tengah prasangka-prasangka yang keruh. Tapi seperti halnya apa saja yang baik, ia juga bisa menyebabkan suatu hasrat yang berlebihan. Pada Akbar, misalnya, keturunan Babur, Timur dan Jenghis Khan. Ketika raja Mogul yang besar itu masih seorang pangeran kecil bernama Muhammad, ia sempat menjalani ritus yang seram: dengan satu hentakan pedang, anak berumur 13 tahun itu memotong leher seorang tahanan Hindi. Namun ketika ia tumbuh dan bertemu dengan banyak kenyataan baru, nampaknya ia tak bisa lagi terus dengan fanatismenya yang purba. Bahkan di tahta di atas Hindustan yang luas itu, ia akhirnya kecewa menemui jurang yang terbentuk dari bentrokan-bentrokan keimanan. Sebab pada dasarnya Akbar, yang mulai memerintah pada usia 18, memang seorang yang didorong oleh rasa adil yang besar, oleh gairahnya akan filsafat yang luas -- dan mungkin pula oleh kenyataan-kenyataan politik yang keras. Ia membaca Mahabbarata dengan terpesona. Ia menghormati penganut Jainisme dan berhenti berburu. Ia mengenakan pakaian suci penganut Zoroaster. la mengundang padri Jesuit, yang waktu itu datang ke Goa, ke majelisnya. "Pikiranku tak tenteram oleh berbeda-bedanya iman dan sekte ini," demikian ia berkata. "Tiap orang, menurut kondisinya, memberikan Zat Yang Maha Tinggi itu sebuah nama. Tapi sungguh pongahlah untuk memberi sebuah nama kepada Yang Tak Terketahui." Syahdan, ketika di Eropa orang Katolik dan Protestan saling membunuh, di India Akbar mengundang wakil pelbagai agama untuk berbincang-bincang. Sikapnya begitu rupa, hingga Santo Franciskus Xaverius mencatat, dari persinggahannya di India, bahwa Akbar "telah menghancurkan" Islam di bawah kekuasaannya. Konklusi itu berlebihan, tapi tak 100% salah. Akbar, cemas dan luka oleh perpecahan keagamaan di kerajaannya, bergerak memperkenalkan sebuah agama baru -- dan meninggalkan Islamnya. Harapan Akbar agaknya seperti tertera pada Kenisah Agama Persatuan yang didirikannya di Fathpur-Sikri: semua penduduk India akan jadi bersaudara, dan menyembah Tuhan yang satu sama. Ternyata tidak. Agama baru itu, Din Ilahi, tak punya daya himbau. Mungkin karena Akbar salah menyangka, bahwa agama hanyalah sebuah program yang rasional -- bukan getaran rohani ketika bersentuhan dengan Kehadiran Yang Agung. Perbedaan iman bukanlah sekedar problem sosial politik. Di masanya orang Islam dan Katolik pun mengelak dari sidang penyatuan kepercayaan yang diselenggarakannya. Di masa kini kita boleh teringat akan penolakan ahli theologi Katolik Hans Kung terhadap semangat seorang kepala negara India lain: Presiden Radhakrishnan almarhum,yang juga filosof, seperti Akbar. Radhakrishnan cenderung menganggap semua agama pada akhirnya satu. Bagi Hans Kung percampuran singkretis justru akan mereduksikan, dan dengan demikian menekan, kebenaran. Tapi tak berarti tak akan ada dialog, dan tak ada yang bisa saling dipelajari oleh agama yang berbeda-beda itu. "Akan ada suatu perjumpaan yang tulus dan berbuah," tulis Kung" dalam Christ Sein (1974) yang diterjemahkan menjadi On Being A Christian, "di mana agama-agama lain akan digalakkan untuk melahirkan apa yang terbaik, dan terdalam, 'dari diri mereka." Bukan Kristenisasi, bukan sekularisasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus