SEBUAH iringan jenazah, dari jauh. Muhammad s.a.w. berdiri,
untuk menghormati. Ketika prosesi itu mendekat, seorang sahabat
tiba-tiba menyadari sesuatu. Ia berkata, kurang lebih, "Tapi itu
jenazah orang Yahudi."
Tapi sang Nabi tetap tegak. Ia berkata, "Jika ada iringan
jenazah lewat, berdirilah."
Kita nampaknya memang harus menyadari kenyataan tentang
kemanusiaan kita yang sama -- apa pun perbedaan ras, agama,
golongan kita satu sama lain. Kemanusiaan yang sama pada batas
kematian, pada bencana, rasa sedih dan mungkin juga kegembiraan.
Seorang penyair berkata untuk semuanya ketika ia menyebut, "Di
bawah kaki kebesaranMu."
Kesadaran itu adalah benih yang indah dalam budi yang luhur
--budi dalam arti reason dan moralitas. Ia sanggup menghibur
kita ketika kita sedih menyaksikan rasa benci. Ia seperti
pantulan cahaya, dari sumber terang entah di mana, ketika kita
hampir putus asa di tengah prasangka-prasangka yang keruh.
Tapi seperti halnya apa saja yang baik, ia juga bisa menyebabkan
suatu hasrat yang berlebihan.
Pada Akbar, misalnya, keturunan Babur, Timur dan Jenghis Khan.
Ketika raja Mogul yang besar itu masih seorang pangeran kecil
bernama Muhammad, ia sempat menjalani ritus yang seram: dengan
satu hentakan pedang, anak berumur 13 tahun itu memotong leher
seorang tahanan Hindi. Namun ketika ia tumbuh dan bertemu dengan
banyak kenyataan baru, nampaknya ia tak bisa lagi terus dengan
fanatismenya yang purba.
Bahkan di tahta di atas Hindustan yang luas itu, ia akhirnya
kecewa menemui jurang yang terbentuk dari bentrokan-bentrokan
keimanan.
Sebab pada dasarnya Akbar, yang mulai memerintah pada usia 18,
memang seorang yang didorong oleh rasa adil yang besar, oleh
gairahnya akan filsafat yang luas -- dan mungkin pula oleh
kenyataan-kenyataan politik yang keras. Ia membaca Mahabbarata
dengan terpesona. Ia menghormati penganut Jainisme dan berhenti
berburu. Ia mengenakan pakaian suci penganut Zoroaster. la
mengundang padri Jesuit, yang waktu itu datang ke Goa, ke
majelisnya.
"Pikiranku tak tenteram oleh berbeda-bedanya iman dan sekte
ini," demikian ia berkata. "Tiap orang, menurut kondisinya,
memberikan Zat Yang Maha Tinggi itu sebuah nama. Tapi sungguh
pongahlah untuk memberi sebuah nama kepada Yang Tak Terketahui."
Syahdan, ketika di Eropa orang Katolik dan Protestan saling
membunuh, di India Akbar mengundang wakil pelbagai agama untuk
berbincang-bincang.
Sikapnya begitu rupa, hingga Santo Franciskus Xaverius mencatat,
dari persinggahannya di India, bahwa Akbar "telah menghancurkan"
Islam di bawah kekuasaannya. Konklusi itu berlebihan, tapi tak
100% salah. Akbar, cemas dan luka oleh perpecahan keagamaan di
kerajaannya, bergerak memperkenalkan sebuah agama baru -- dan
meninggalkan Islamnya.
Harapan Akbar agaknya seperti tertera pada Kenisah Agama
Persatuan yang didirikannya di Fathpur-Sikri: semua penduduk
India akan jadi bersaudara, dan menyembah Tuhan yang satu sama.
Ternyata tidak. Agama baru itu, Din Ilahi, tak punya daya
himbau. Mungkin karena Akbar salah menyangka, bahwa agama
hanyalah sebuah program yang rasional -- bukan getaran rohani
ketika bersentuhan dengan Kehadiran Yang Agung. Perbedaan iman
bukanlah sekedar problem sosial politik.
Di masanya orang Islam dan Katolik pun mengelak dari sidang
penyatuan kepercayaan yang diselenggarakannya. Di masa kini kita
boleh teringat akan penolakan ahli theologi Katolik Hans Kung
terhadap semangat seorang kepala negara India lain: Presiden
Radhakrishnan almarhum,yang juga filosof, seperti Akbar.
Radhakrishnan cenderung menganggap semua agama pada akhirnya
satu. Bagi Hans Kung percampuran singkretis justru akan
mereduksikan, dan dengan demikian menekan, kebenaran.
Tapi tak berarti tak akan ada dialog, dan tak ada yang bisa
saling dipelajari oleh agama yang berbeda-beda itu. "Akan ada
suatu perjumpaan yang tulus dan berbuah," tulis Kung" dalam
Christ Sein (1974) yang diterjemahkan menjadi On Being A
Christian, "di mana agama-agama lain akan digalakkan untuk
melahirkan apa yang terbaik, dan terdalam, 'dari diri mereka."
Bukan Kristenisasi, bukan sekularisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini