Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGESAHAN Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial pekan lalu lagi-lagi menunjukkan "penyakit" DPR yang tak sembuh-sembuh: tuli terhadap suara publik. Alih-alih mulus diterapkan, undang-undang itu bakal bernasib sama dengan sejumlah undang-undang lain, seperti Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Intelijen, yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Puluhan lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, misalnya, sudah siap menggugat undang-undang baru itu ke Mahkamah Konstitusi.
Kesan buru-buru tak bisa dilepaskan dari proses pembuatan undang-undang tersebut. Hingga dua pekan lalu, pembahasan RUU ini masih menemui jalan buntu. Sejumlah partai masih berdebat, antara lain mengenai wewenang kepala daerah memakai kekuatan TNI untuk menyelesaikan konflik. Anggota DPR rupanya memilih menyelesaikan soal ini dengan lobi ketimbang meminta pendapat publik atau menunda pengesahannya. Walhasil, substansi wewenang kepala daerah mendatangkan pasukan TNI tak hilang, hanya disyaratkan "atas persetujuan pemerintah".
Kewenangan daerah meminta bantuan TNI itu yang kita sesalkan. Undang-undang ini membuka kembali masuknya TNI ke dalam urusan sipil, sesuatu yang sejak era reformasi kita haramkan. DPR seperti tak belajar dari kasus penanganan sejumlah konflik pada era rezim Soeharto. Pelibatan TNI tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya selalu menciptakan pelanggaran hak asasi manusia—dan menimbulkan trauma pada masyarakat.
Bayangkanlah jika pecah konflik dalam pemilihan kepala daerah yang melibatkan kepala daerah inkumben. Dengan alasan "memadamkan konflik", sang inkumben bisa meminta TNI campur tangan. Adakah yang menjamin, dalam hal seperti ini, TNI akan netral dan kepala daerah tidak mempengaruhi TNI untuk memihak kepentingannya? Demikian pula jika terjadi konflik yang berkaitan dengan persoalan lahan antara masyarakat dan pengusaha, seperti yang marak terjadi akhir-akhir ini. Bahkan, sebelum adanya undang-undang ini, aparatur keamanan cenderung membela kepentingan pengusaha—yang notabene biasanya dekat dengan kepala daerah.
Undang-Undang Penanganan Konflik ini sejatinya juga tidak dibutuhkan. Selama ini, meletus atau berlarut-larutnya konflik, seperti yang terjadi di Mesuji, Lampung, atau Bima, lebih karena penegakan hukum yang amburadul dan tidak tegasnya aparatur keamanan, khususnya polisi. Masyarakat berang, melakukan perlawanan, karena mengalami ketidakadilan. Di Mesuji, rakyat marah karena lahan satu-satunya tempat mereka menggantungkan hidup diambil pengusaha, sementara bupati seperti tutup mata atas nasib mereka.
Tanpa Undang-Undang Penanganan Konflik pun, sebetulnya kita sudah memiliki seperangkat aturan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik. Misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, atau Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Mereka yang terlibat, dari sekadar menghasut sampai melakukan kekerasan, bisa dijerat dan diajukan ke pengadilan atas dasar undang-undang ini. Karena itu, yang kita butuhkan memang pelaksanaan dan penerapan aturan yang sudah ada secara tegas dan konsisten, bukan membuat undang-undang baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo