Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perselisihan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi perihal sampah seolah-olah tak ada habisnya. Rezim berganti-ganti, dan masalah ini selalu saja berulang. Sayangnya, konflik di antara dua pemerintah wilayah ini tak pernah dijadikan momentum buat menangani persoalan sampah secara komprehensif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan ini mencuat kembali sejak pekan lalu. Petugas Dinas Perhubungan Kota Bekasi mencegat 51 truk pengangkut sampah yang sedang menuju Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang. "Solusi" yang dikeluarkan untuk mengatasi hal ini hanya berjangka pendek: pembatasan jam operasional truk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangkal penahanan truk yang kemudian diselesaikan dengan pembatasan jam operasional itu tak jauh-jauh amat: duit. Pemerintah Bekasi menuding DKI belum menggelontorkan Rp 2,09 triliun untuk membangun jalan menuju Bantargebang sesuai dengan perjanjian. Menurut pemerintah Bekasi, DKI juga baru membayar dana kompensasi Rp 194 miliar-ini pun masih diperdebatkan kebenarannya.
Konflik yang sama terjadi tiga tahun lalu. Penyebabnya pun soal kompensasi yang dianggap belum selesai. Ketika itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi bahkan hendak memanggil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Pemanggilan ini membuat berang Basuki, yang menganggap Dewan tak berwenang memanggil kepala daerah lain-apalagi pada level yang lebih tinggi. Rame-rame ini pun menguap begitu saja setelah kompensasi dibayarkan.
Bagaimanapun, Jakarta memang masih bergantung pada Bantargebang untuk membuang sampah sekitar 6.500 ton per hari. Jakarta terlambat mengikuti pengelolaan sampah modern seperti yang dilakukan di kota-kota besar di negara maju. Pembuatan empat tempat pengolahan sampah terpadu atau intermediate treatment facility yang telah direncanakan sejak 2006 tak kunjung terealisasi. Mei lalu, Gubernur Anies Baswedan mencanangkan pembangunan proyek ini di Sunter, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Namun pembuatan fasilitas yang akan mengolah sampah menjadi energi listrik ini jelas memerlukan waktu.
Pemerintah DKI menyatakan masih menunggu hasil laporan analisis mengenai dampak lingkungan yang direncanakan rampung pada November 2018. Kalau semua persyaratan dipenuhi, proyek senilai US$ 300 juta yang digarap PT Jakarta Propertindo dan Fortum-perusahaan asal Finlandia-ini baru akan memasuki masa konstruksi sebulan kemudian. Tak ada jalan lain, eksekusi proyek ini seharusnya dipantau agar bisa selesai sesuai dengan target. Hingga proyek ini selesai, Ibu Kota masih akan bergantung pada Bantargebang. Apalagi Jakarta memerlukan setidaknya tiga fasilitas serupa untuk mengolah semua sampah yang dihasilkan warganya.
Sudah semestinya pemerintah DKI duduk bersama dengan pemerintah Bekasi untuk menyelesaikan hal-hal yang menjadi ganjalan dalam lalu lintas kendaraan pengangkut sampah ini. Gubernur Anies Baswedan dan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi perlu berkomunikasi langsung dan tidak berperang kata-kata di media massa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo