Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khudori
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo menunjuk Syahrul Yasin Limpo sebagai Menteri Pertanian menggantikan Amran Sulaiman. Politikus Partai NasDem yang dua periode menjabat Gubernur Sulawesi Selatan itu memiliki rekam jejak panjang di birokrasi. Meniti karier dari bawah, Syahrul dipastikan mengenal betul watak dan perilaku birokrasi. Memang ada perbedaan antara posisi menteri dan gubernur. Gubernur mengurus segala urusan, termasuk masalah pertanian, di wilayah provinsi, sedangkan menteri mengurus masalah sektoral untuk wilayah negara. Pengalaman Syahrul yang cukup berhasil mengurus sektor pertanian di Sulawesi Selatan menjadi modal penting untuk memimpin Kementerian Pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun jalan yang akan dilalui Syahrul untuk membangun pertanian dan pangan lima tahun ke depan bukan jalan yang mudah. Hal ini tidak terlepas dari aneka masalah yang membelit sektor pertanian dan pangan. Diperlukan langkah-langkah taktis, konsisten, dan berkesinambungan dengan melibatkan para pihak dalam kerja-kerja teknokratis ke depan. Langkah ini bisa dimulai dengan perumusan aneka masalah di sektor pertanian dan pangan, kemudian mencari jalan keluarnya.
Saat ini, sektor pertanian dan pangan setidaknya mengidap lima masalah. Pertama, keterbatasan lahan. Dari luas daratan Indonesia sebesar 190 juta hektare, hanya 30 persen yang bukan kawasan hutan. Sebagian dari kawasan non-hutan itu untuk pertanian. Alih-alih bertambah, dari tahun ke tahun lahan pertanian justru menciut karena konversi ke penggunaan non-pertanian. Lahan sawah hanya seluas 7,1 juta hektare. Lahan ini menjadi rebutan banyak komoditas: padi, jagung, kedelai, tebu, sayur, dan komoditas lain.
Lahan terbatas membuat pilihan pun menjadi terbatas, sehingga mustahil bisa mencapai swasembada banyak komoditas. Ini mengharuskan kepintaran memilih dan memilah: komoditas apa yang harus diprioritaskan dan apa yang harus ditinggalkan. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, ekstensifikasi menjadi keharusan. Lahan-lahan sub-optimal, seperti lahan kering dan rawa, bisa menjadi kandidat. Masalahnya, inovasi, teknologi, dan pelbagai ikutan untuk pengembangan amat tertinggal. Sebab, selama ini fokus pemerintah banyak tercurah ke lahan sawah. Orientasi ini yang harus mulai berubah.
Kedua, produktivitas yang rendah. Untuk beberapa komoditas, seperti padi, produktivitas petani sudah mencapai ujung. Namun produktivitas komoditas lain, seperti tebu, kedelai, dan jagung, masih perlu ditingkatkan. Kesenjangan antara penelitian dan panen aktual di petani masih amat tinggi. Selain mengadopsi varietas unggul, kesuburan tanah-tanah yang sebagian besar kelelahan perlu dipulihkan. Hal yang tak kalah penting adalah terobosan inovasi dan teknologi untuk melipatgandakan hasil. Sementara pada era 1970-an teknologi Revolusi Hijau menjadi jawaban atas stagnasi produksi, perlu dicari inovasi untuk pelipatgandaan produksi di lahan terbatas.
Ketiga, kualitas sumber daya manusia yang rendah. Sekitar 72 persen petani cuma tamat sekolah dasar atau bahkan tak sekolah. Kapasitas pendidikan yang rendah membuat adopsi inovasi dan teknologi lambat. Pembebasan biaya pendidikan sekolah menengah dan alokasi 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk pendidikan di berbagai daerah belum memperkecil angka itu. Mirisnya lagi, sebagian besar petani berada di ujung usia produktif. Menurut Survei Pertanian Antar-Sensus (SUTAS) 2018, 64 persen pekerja sektor pertanian berusia lebih dari 45 tahun. Diperlukan terobosan agar pertanian tidak terancam gerontrokrasi.
Keempat, kesejahteraan petani. Penguasaan modal (lahan dan pendanaan) petani amat terbatas. Hasil SUTAS 2018 menunjukkan 15,8 juta rumah tangga petani (57,1 persen) adalah gurem (lahan kurang dari 0,5 hektare), naik dari Sensus Pertanian 2013 yang sebesar 55,3 persen. Keterbatasan modal tanah membuat pertanian tak lagi menjadi gantungan hidup. Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 oleh Badan Pusat Statistik mendapati rata-rata pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian cuma
Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per bulan, jauh dari upah layak buruh pabrik.
Pendapatan ini hanya mampu menopang sepertiga kebutuhan mereka. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti mengojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Fakta ini menunjukkan tak ada lagi "masyarakat petani", yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu. Karena tak menjanjikan kesejahteraan, logis kiranya pertanian dijauhi tenaga kerja muda terdidik. Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian perlu dievaluasi dengan tujuan bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan dan berkelanjutan.
Kelima, absennya kelembagaan. Sejak Kementerian Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, tak ada lagi lembaga yang merumuskan kebijakan serta mengkoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Selain itu, otonomi daerah membuat produksi pangan domestik menjadi urusan daerah, tapi peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Ini semua memperparah kinerja produksi pangan domestik.
Itulah masalah-masalah yang harus dihadapi Syahrul bila ingin membenahi pembangunan pertanian dan pangan negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo