KEBUN teh Kishumu membentang bagai permadani cantik di bawah kami. Pesawat menyambar lebih rendah. Di sebelah kami sudah terbentang Danau Victoria yang luas bagai lautan. Kami semua sedang berada persis di ambang sebuah impian monumental tentang pembangunan. Lurus ditentang hidung pesawat yang menukik, tampak instalasi pabrik etanol raksasa milik Kenya Chemical and Food Company (KCFC). Madhvani adalah seorang pengusaha "Asia" (sebutan untuk orang India yang bermukim di Afrika) yang terdepak dari Uganda ketika Idi Amin mengusir semua orang "Asia" dari negaranya pada 1973. Tetapi seorang Madhvani muda segera melihat sebuah kemungkinan baru di Kenya. Pada 1975, Nitin Madhvani berhasil menjual gagasannya untuk mendirikan etanol (etil alkohoi) kepada pemerintah Kenya. Madhvani berhasil meyakinkan bahwa pendirian pabrik etanol sebagai sumber energi alternatif itu akan mengurangi ketergantungan Kenya terhadap bahan bakar minyak, dus menghernat penggunaan devisa. Pemerintahan Daniel Arap Moi segera membeli 51% saham dari proyek itu. Di atas kertas, gagasan Madhvani itu memang cemerlang. Asumsi dasarnya adalah bahwa Kenya kaya akan molasses (tetes tebu, sisa kilangan gula). "Lihat saja sungai-sungai di Kenya yang mampat karena ampas-ampas tebu," katanya seperti dikutip Africa Economic Diest. Hebat, bukan? Karena proyek ini toh dimiliki pemerintah, maka para pelaksananya pun dengan mudah dan tutup mata menganggap bahwa Kenya Pipehne Company, perusahaan minyak milik negara, pasti akan membeli produk etanol kilangan KCFC itu. Tetapi, apa kenyataannya? Para pejabat Kenya Pipeline Company menyatakan, "Belum centu kami membelinya. Apalagi, kalau harganya lebih mahal daripada crude." Ya dan apalagi bahwa konsumen belum tentu suka dengan campurm 15% etanol dalam bahan bakar yang dibelinya dengan harga sama. Kenyataan yang lain adalah bahwa surplus molasses yang diasumsikan itu ternyata nyaris merupakan mitos belaka. Kenya memang mengalaml boom dalam ekspor molasses. Pada 1981. harga molasses sudah mencapai US$ 79 per ton. Pemerintah Eenya, katanya, sudah menjamin bahwa ekspor molasses akan dihentikan segera setelah KCFC berproduksl karena pabrik itu memang mempunyai kapasitas untuk menyerap seluruh produksi molasses Kenya. Tetapi persoalannya adalah bahwa pabrik itu hanya akan membeli molasses di bawah harga US 79 per ton. Masalah yang tidak kurang peliknya dalam hal molasses ini adalah bahwa proyek itu ternyata "lupa" memperhitungkan biaya pengangkutan molasses yang melimpah di seluruh Kenya untuk dibawa ke pabrik etanol KCFC di Kishumu itu. Membengkaknya biaya proyek - di samping terlambatnya pelaksanaan proyek - agaknya memang merupakan ciri pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga. Proyek yang semula direncanakan seharga US$ 67,5 juta itu ternyata kedodoran hingga US$ 115 juta. Hampir lipat dua. Akankah proyek raksasa yang tampak cantik di atas kertas itu nantinya menghasilkan sesuatu yang positif? Gilmore Bell, Kuasa Usaha Proyek, kalang kabut kerepotan menjawab pertanyaan wartawan tentang keterlaksanaan proyeknya itu. Berulang kali wartawan kulit putih menyebut Third Worlders dan failure. Tiap sebentar terdengar pula mereka menekankan gagalnya proyek gasohol di Brazil. Ketika pesawat kami meninggalkan Kishumu, besi-besi tanur proyek etanol itu tampak kekar dan angkuh. Sebuah mimpi buruk baru saja kami lalui. Tetapi dalam penerbangan kembali ke Nairobi, teman di sebelah yang lain menceritakan mimpi buruk yang lain. Ia baru saja meninjau pabrik batu bata yang bukan kepalang besarnya. Pabrik itu berproduksi dengan mulus. Tetapi batu-batu bata itu hancur ketika tiba di tempat tujuan karena perjalanan jauh dalam kondisi jalan yang buruk. Sungguh suatu kesalahan berpikir dan kesalahan berhitung yang tidak termaafkan. Di Indonesia kita punya jawaban yang manis untuk memaafkan kesalahan seperti itu: "Perjuangan memang selalu meminta pengorbanan". Ya, sudah. Bondan Winarno.