Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Tentang tanah air dan kemerdekaan

Kebanggaan akan tanah air bisa berbeda dengan kebanggaan akan kemerdekaan. tanah air mungkin menjadi suatu wujud yang melembaga, sedang kemerdekaan hidup dalam fluktuasi, antara pasang dan surut.

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH artinya sebuah tanah air? Tidak seorang pun yang agaknya tahu secara persis. Tapi hari itu di mana-mana mereka menyanyi, Indonesia Raya. Di halaman sebuah sekolah desa yang hampir ringsek. Di bukit di antara kemah-kemah anak muda yang sedang hiking. Di lapangan volley sebuah kompleks perumahan. Di depan kantor gubernuran. Di depan Istana Merdeka, di sebuah pos perbatasan .... Saya sendiri menyaksikan sebuah Merah-Putih yang dinaikkan pada tiang darurat yang terhunjam di pasir pantai: serombongan orang yang piknik telah melakukannya dengan khidmat, dengan seorang pemimpin upacara yang berkaki telanjang dan bercelana jean pendek, dengan lagu Syukur yang hilang-hilang timbul ditingkah ombak. Saya tidak tahu kenapa mereka melakukan semua itu. Saya tidak tahu kenapa orang-orang, termasuk saya barangkali, bisa mencintai sebuah tanah air -- jika pun saya mengerti apa artinya kata-kata "mencintai tanah air". Mengapa orang memperingati Hari Kemerdekaan, juga di tempat-tempat yang paling ganjil? Apakah arti Indonesia bagi mereka? Apa arti Indonesia bagi saya? Barangkali jawabnya karena Indonesia adalah sebuah tempat dari mana kita hampir tak dapat terlepas lagi. Jangan salah paham. Indonesia bukan sebuah jebakan. Dari sini kita memang tidak bisa terlepas bukan karena pantai-pantainya yang banyak itu telah mengungkung, tapi karena di dalam diri kita, ada sesuatu yang selalu terpaut padanya: Indonesia, melalui suatu proses yang disebut "sejarah", telah menjadi suatu definisi. Indonesia adalah sebuah batasan. Batasan itu, sering kali secara tidak sadar, merupakan sesuatu yang kita butuhkan agaknya. Ia memberi bentuk kepada pencarian kita akan bentuk. Ia merupakan titik pada sebuah peta yang luas dan kacau sebuah titik yang kita kenali sebagai sebagian dari diri kita sendiri. "Setinggi-tinggi terbang bangau," kata pepatah, "akan kembali jua ke sarangnya". Indonesia itulah sarang. Kita bangau, kita burung layang-layang. Ada selalu saat kita ingat akan sebuah dunia ke mana riwayat kita berkait, tiap kali kita menghambur, mungkin kabur, ke luar. Barangkali itulah artinya "mencintai tanah air". Bukan suatu sikap gemuruh, berapi-api dan mendesak untuk diteriakkan, tapi lebih semacam sebuah sikap menerima, dengan rela ataupun bersemangat, sebuah "definisi". Maka kita tidak mencintai sebuah tanah air karena ia indah. Cantik, indah, adalah soal yang nisbi. Priangan memang "jelita", Toba "permai", Bali itu "surga", dan seterusnya -- tapi begitu pula sebuah kota kecil di Negeri Swiss yang bersih dan bersalju. Begitu pula kebun rimbun dari zaman lama Kyoto, barisan pesisir putih dengan laut dan lasuardi cemerlang di Sicilia. Toh kita tak bisa mengatakan bahwa Swiss, Jepang, atau Italia itu adalah bagian dari diri kita -- sosok geografis yang terbentuk dalam sejarah kita. Swiss, Jepang, Italia, seperti gambar-gambar elok di kartu pos berwarna di keda turis, bisa ditukar-tukar. Tapi Indonesia, bagi kita, tidak. Saya bukan patriot besar, bukan pula patriot kecil. Tapi bayangkan Swiss atau Jepang atau Italia diserbu orang, dan panorama-panorama yang mempesona itu jadi berantakan saya kira saya akan sedih, tapi tidak akan kehilangan. Kini bayangkan sebuah pasukan asing menyerbu Aceh, menduduki seluruh Sumatera, bergerak ke Jakarta saya kira akan banyak di antara kita, juga yang sering dianggap tak punya lagi rasa kebangsaan, akan terancam kehilangan -- dan mungkin bersedia mati untuk tidak kehilangan. Biarpun kita tahu di sini banyak korupsi, sebuah negeri dengan jalan raya yang kotor dan kacau, sebuah bangsa yang sepak bolanya kalah melulu. Biarpun kita sering sebal, dan tak tahu persis apa artinya sebuah tanah air. Sebab, agaknya, Indonesia lebih dari sekadar sebidang tempat. Ia adalah sebuah "idea", biarpun selalu tak mudah untuk dirumuskan yang telah jadi demikian penting hingga ia seakan-akan telah merupakan wujud yang hadir bahkan sebelum batas ilmu bumi dan politiknya jelas. Karena itulah begitu banyak orang berkorban untuknya sebelum 1949, tatkala kedaulatannya sebagai suatu unit negara-kebangsaan diakui. Tentu saja tak berarti bahwa "idea" itu adalah pada mulanya "idea" tentang suatu tanah air semata-mata. Sebuah tanah air tak akan ada gunanya tanpa ia merupakan tanah air orang merdeka. Justru keinginan untuk merdeka itulah yang mendorong lahirnya keinginan untuk sebuah tanah air. Sajak, Roestam Effendi di tahun 1926 telah bicara tentang itu dengan bagusnya: Bilakah bumi bertabur bunga disebarkan tangan yang tiada terikat dipetik jari, yang lembah lembut, ditanai sayap kemerdekaan rakyat? Bilakah lawang bersinar Bebas ditingalkan dera yang tiada terkata? Bilakah susah yang beta benam dihembus angin kemerdekaan kita? Dalam perkembangannya kemudian, seperti banyak terjadi di Dunia Ketiga, di Indonesia pun kebanggaan akan tanah air kadang-kadang merupakan kebanggaan yang lain dari kebanggaan akan kemerdekaan. "Tanah air" dan "kemerdekaan" telah nyaris jadi dua pengertian yang terpisah jauh. Mungkin karena sementara tanah air telah menjadi suatu wujud yang kurang lebih melembaga, kemerdekaan hidup dalam fluktuasi, antara pasang dan surut. Lalu kita pun menyanyi Indonesia Raya, memperingati 17 Agustus sebagai hari lahir sebuah bangsa -- bukan hari untuk berkepaknya "sayap kemerdekaan rakyat". Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus