Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENARKAH tentara berada di kubu Megawati? Pertanyaan seperti ini sudah lama beredar tapi belakangan ini menjadi kian nyaring terdengar. Terutama, setelah secara mencolok para pemirsa televisi menyaksikan bagaimana suara fraksi TNI dan polisi di Senayan berbaris rapi di belakang sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pemandangan itu menunjukkan sikap politik institusi negara yang bersenjata ini secara gamblang: bahwa Presiden Abdurrahman Wahid, yang menurut konstitusi adalah Panglima Tertinggi TNI, diindikasikan terlibat dalam kasus Buloggate dan Bruneigate, serta layak diberi peringatan resmi dalam bentuk memorandum DPR.
Bagi mereka yang rajin mengamati militer Indonesia, sikap politik ini bukanlah hal yang luar biasa. Yang barangkali sedikit mengejutkan, posisi ini ditampilkan secara terbuka. Boleh jadi, hal ini dilakukan sebagai sebuah pesan politik ke orang ramai. Maklum, sebelum sidang, para pemimpin tentara dikabarkan sempat diminta Presiden Abdurrahman agar mengamankan rencananya untuk menyatakan negara dalam keadaan darurat, membubarkan DPR dan MPR, serta mengumumkan rencana mengadakan pemilihan umum secepatnya. Permintaan ini, untungnya, tidak hanya ditolak oleh para jenderal, melainkan juga Wakil Presiden Megawati.
Kesamaan pandang Mega dan militer ini tak hanya dalam soal Buloggate, melainkan lebih dalam. Payung ideologi PDI-P yang dipimpin Megawati Sukarnoputri, setidaknya yang sering disuarakan dalam berbagai forum, adalah kesetiaan pada Pancasila, UUD 45, dan Negara Kesatuan RI. Ini boleh dikata serupa dengan doktrin yang selama ini ditanamkan kepada para perwira TNI sejak mereka masuk tentara. Hanya, di era Orde Baru doktrin ABRI juga menyatakan kesetiaan kepada pemerintah, yang kemudian?setelah roda reformasi bergulir?diubah menjadi kepada negara.
Kebersamaan ideologi ini sebenarnya tak terbatas pada TNI dan PDI-P saja. Partai Golongan Karya pun, secara resmi, mempunyai pijakan yang tidak jauh berbeda. Karena itu, dilihat dari segi kepentingan, ketiga kekuatan ini sebenarnya berpotensi besar untuk membentuk koalisi yang mampu menjadi mayoritas tunggal di Senayan. Sebuah potensi yang mengkhawatirkan bila mengingat kemungkinannya untuk menghambat proses reformasi di negeri ini.
Kekhawatiran ini timbul bukan karena soal ideologi, melainkan karena melihat orang-orang yang berada di dalamnya. Simaklah nama para pemimpin kelompok ini dan cermati apa posisi dan tindakan mereka saat Orde Baru berkuasa. Pancasila diinterpretasikan sewenang-wenang untuk menindas kelompok Islam dan kiri, UUD 45 dijadikan tameng untuk menahbiskan kepala negara sebagai seorang diktator dengan memandulkan lembaga legislatif maupun yudikatif, sedangkan kesetiaan kepada Negara Kesatuan RI dijadikan pembenaran untuk melanggar hak asasi manusia saudara sebangsa dan setanah air yang berbeda paham dengan Jakarta.
Semua ekses tersebut jelas tak boleh terulang. Wakil Presiden Megawati tak boleh lupa bagaimana ayahnya, yang dikenal sebagai penggali Pancasila, diperlakukan semena-mena oleh kalangan yang menyatakan dirinya penyelamat Pancasila. Juga, Mega harus ingat bagaimana sang Ayah, dalam pidatonya yang luar biasa pada 1 Juni 1945, menyatakan bahwa UUD 45 adalah UUD kilat yang harus diperbaiki setelah keadaan memungkinkan. Jangan sampai lupa untuk mencermati proses kelahiran konstitusi pertama bangsa ini, dan mengapa hanya ada satu pasal yang dianggap tak perlu dijelaskan lagi: Pasal 37 tentang Perubahan UUD.
Terhadap berbagai gerakan separatis pun Megawati hendaknya becermin pada sang Ayah. Bagaimana ia menyelesaikan pemberontakan di Aceh melalui pendekatan persuasif dan janji membuat provinsi paling barat Indonesia itu menjadi daerah istimewa. Begitu juga berbagai pemberontakan bersenjata diselesaikan melalui mekanisme amnesti dan merebut hati rakyat. Sangat bertolak belakang dengan cara Gubernur Jenderal Van Mook, yang berupaya menaklukkan dengan cara militer dan terbukti gagal.
Kegagalan memang menjadi keniscayaan bagi mereka yang menyelesaikan masalah politik dengan cara militer. Bahkan Bung Karno pun memulai kegagalannya setelah membuat koalisi politik dengan militer dan membuat Dekrit 5 Juli 1959. Sejarah mencatat, bagaimana koalisi itu akhirnya berujung pada penyingkiran Bung Karno oleh militer. Sejarah yang terulang ketika kebangkitan politik Megawati Sukarnoputri dicoba diredam dengan kekerasan dalam peristiwa 27 Juli 1996.
Berbagai peristiwa itu kini menjadi beban sejarah yang menjadi penghalang munculnya koalisi PDI-P, Golkar, dan TNI. Kendati demikian, khalayak ramai tak boleh berdiam diri. Kepentingan politik sesaat dan demam kekuasaan acap kali menimbulkan amnesia selektif dan perjodohan yang aneh. Perjalanan menuju Indonesia Baru tak dapat dipercayakan hanya kepada partai politik. Tak hanya karena sejarah bangsa ini mencatat pengkhianatan partai politik terhadap gerakan pembaruan pada tahun 1950-an serta akhir tahun 1960-an, melainkan karena benih demokrasi hanya tumbuh subur bila masyarakat madani menjadi ladangnya.
Robert Putnam, seorang pakar politik Amerika Serikat, pernah mengadakan penelitian yang kesimpulannya layak disimak. Guru besar di Universitas Harvard ini menyatakan, pemerintahan yang demokrat, bersih, dan berwibawa hanya dapat tumbuh dalam lingkungan yang kebanyakan anggotanya giat berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan.
Karena itu, tak penting benar apakah militer berada di belakang Megawati atau tidak. Yang lebih penting adalah orang ramai harus terus aktif mengawal bangsa ini ke masa depan yang lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo