Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Isu legalisasi ganja untuk kepentingan medis mencuat lagi.
Di Indonesia, isu ini berkutat pada penyalahgunaan ganja sehingga pemerintah masih melarangnya.
Perlu terobosan hukum dan tafsir hakim atas Undang-Undang Narkotika.
Agung Hermansyah & Arif Sastra Wijaya
Advokat dan Konsultan Hukum di Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Santi menggelar aksi damai dari Bundaran Hotel Indonesia sampai ke Mahkamah Konstitusi dengan membawa anaknya yang menderita cerebral palsy dan membutuhkan terapi minyak biji ganja. Aksi ini mengangkat kembali isu ihwal legalisasi ganja medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanaman ganja memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, tanaman ini merupakan obat-obatan herbal. Di sisi lain, ia mengandung zat psikoaktif yang dapat membuat pemakainya merasakan euforia. Namun sudah banyak penelitian yang mengakui khasiat ganja untuk keperluan medis sehingga pengesahan penggunaan tanaman ini semakin populer. Thailand, misalnya, melegalkan penggunaan ganja medis belum lama ini sehingga menjadikannya negara pertama di Asia Tenggara yang secara progresif melonggarkan aturan ganja. Meskipun terjadi pelonggaran, tetap saja ada rambu-rambu yang membatasinya.
Di Indonesia, isunya cenderung berkutat pada penyalahgunaan ganja sehingga pemerintah sampai saat ini masih melarang peredaran ganja sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di samping itu, masyarakat Indonesia cenderung percaya bahwa ganja lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Meski demikian, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2021, ganja termasuk narkotik golongan 1 yang dapat digunakan untuk keperluan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Akibat larangan tersebut, orang yang mengedarkan atau menggunakannya dapat diancam dengan hukuman pidana. Salah satu contohnya adalah kasus pidana yang menjerat FAS hingga ia divonis 8 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sanggau. FAS terbukti menggunakan 39 batang ganja untuk mengobati istrinya yang menderita penyakit langka syringomyelia.
Dalam pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Sanggau, sebagaimana termaktub dalam Putusan Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag, perbuatan FAS yang menggunakan ganja untuk mengobati istrinya dengan cara mengoleskan ekstrak atau minyak ganja ke luka istrinya serta mencampurnya ke dalam minuman telah memenuhi unsur menggunakan narkotik golongan 1 terhadap orang lain atau memberikan narkotik golongan 1 untuk digunakan orang lain tanpa hak serta melawan hukum. Hakim menilai perbuatan itu melanggar Pasal 116 Undang-Undang Narkotika, meskipun ganja tersebut digunakan untuk mengobati penyakit langka yang diderita sang istri. Selain itu, hakim menyebutkan soal pentingnya kehadiran ahli medis yang mendukung perihal manfaat ganja medis sebagai keadaan terpaksa (overmacht) yang menjadi alasan pemaaf atau alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukum dalam penggunaan ganja medis untuk pengobatan.
Sesungguhnya Santi dan dua temannya sudah mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas Undang-Undang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi pada November 2020. Artinya, mereka sudah menanti selama hampir dua tahun agar MK mengabulkan permohonan mereka untuk melegalkan ganja medis di Indonesia.
Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, mengatakan sidang uji materi tersebut memang panjang dan saat ini masih dalam proses. Tidak dapat diperkirakan kapan hakim akan membacakan putusannya. Pemerintah dan DPR juga menyatakan tidak menutup pintu terhadap opsi melegalkan ganja medis. Namun jawaban yang serba tidak pasti itu akan berpacu dengan waktu terhadap pengaruh dan tingkat kesembuhan orang-orang yang mengidap penyakit langka yang membutuhkan serta bergantung pada ganja medis sebagai metode pengobatan. Hal ini berdampak langsung pada keselamatan dan nyawa orang tersebut. Dalam konteks ini, konstitusi secara tegas menyatakan bahwa negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia.
Menurut kami, salah satu opsi yang bisa digunakan untuk mendapatkan legitimasi penggunaan ganja medis untuk pengobatan bagi seseorang serta demi terwujudnya kepastian hukum ataupun asas peradilan cepat dan sederhana adalah dengan meminta penetapan pengadilan lewat pengajuan permohonan atau gugatan voluntair ke pengadilan negeri.
Gugatan voluntair adalah permohonan yang diajukan seseorang kepada pengadilan yang sifatnya untuk kepentingan sepihak dan tanpa sengketa dengan pihak lain ihwal suatu permasalahan yang memerlukan kepastian hukum untuk melakukan tindakan tertentu. Dalam situasi orang-orang yang benar-benar membutuhkan dan bergantung pada ganja medis untuk kesembuhan ataupun kelangsungan hidupnya, tidak tepat apabila hanya menghubungkannya dengan sifat melawan Undang-Undang Narkotika yang ada sanksi pidananya. Hal itu seharusnya juga diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis ataupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat. Dalam hal ini, hak untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, hakim boleh menafsirkan undang-undang tersebut sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim yang memeriksa dan memutus gugatan voluntair ini nantinya harus memperhatikan tiga hal. Pertama, negara tidak dirugikan, yang dalam hal ini pemohon harus mendapatkan rekomendasi dari ahli medis, dan ganja medis tersebut diperoleh dari sumber yang sah, yakni melalui izin serta di bawah pengawasan Kementerian Kesehatan dan BPOM.
Kedua, benar-benar untuk kepentingan orang tersebut dan tidak mengambil untung dengan tidak bertindak ataupun tidak terlibat dalam penyalahgunaan serta pengedaran ganja. Ketiga, kepentingan pasien itu terlayani dalam soal hak untuk mendapatkan kesehatan, kesembuhan, dan jaminan kelangsungan hidup. Putusan pengadilan yang sesuai dengan kesadaran, kebutuhan hukum, dan nilai-nilai keadilan masyarakat adalah hukum dalam makna yang sebenarnya (het recht der werkelijkheid).
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo