Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEROR terhadap jurnalis Papua, Victor Mambor, merupakan pelanggaran serius atas kebebasan pers dan warga sipil. Menambah panjang daftar kekerasan terhadap jurnalis, peristiwa yang menimpa Pemimpin Umum Tabloid Jubi ini menunjukkan buruknya pelindungan bagi wartawan oleh negara dan terancamnya kebebasan berpendapat masyarakat di Bumi Cenderawasih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teror yang menimpa Victor pada Senin, 23 Januari 2023, berupa aksi peledakan bom rakitan, tak jauh dari rumahnya di Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Ancaman terhadap peraih Udin Award ini diduga kuat berkaitan dengan aktivitas jurnalistiknya karena Victor konsisten mengangkat kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat. Pemberitaan tersebut, misalnya, kasus Paniai berdarah, kasus mutilasi Nduga, dan kasus penembakan di Kabupaten Bintang. Kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut melibatkan aparat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan kali ini saja, Victor sebelumnya beberapa kali mendapat teror. Pada April 2021, ia mengalami intimidasi berupa serangan digital serta perusakan mobil. Sampai saat ini, polisi tak kunjung mengungkap dan menangkap pelaku penyerangan Victor. Karena pemerintah dan aparat penegak hukum terkesan tak sepenuh hati menangani dan menuntaskan kasus-kasus semacam ini, terutama di Papua, teror terhadap jurnalis terus berulang.
Buruknya pelindungan bagi jurnalis dan kebebasan berpendapat merupakan persoalan serius di Papua. Aliansi Jurnalis Independen mencatat jumlah kekerasan terhadap jurnalis di Papua dan Papua Barat mencapai 60 kasus—tertinggi kedua setelah Jawa Timur—selama hampir dua dekade terakhir. Kekerasan itu berbentuk intimidasi, pelarangan meliput, ancaman menggunakan senjata, hingga pembunuhan. Dari jumlah tersebut, tak ada satu pun kasus yang terungkap.
Teror dan kekerasan tak hanya menimpa jurnalis, tapi juga para aktivis hak asasi manusia di Papua. Amnesty International Indonesia mencatat sedikitnya ada 95 orang di Papua ditahan sepanjang 2019-2022. Mereka ditangkap dan dipenjara karena menggelar aksi demonstrasi terkait dengan insiden rasisme di Surabaya dan menuntut penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Karena Papua menjadi wilayah berbahaya bagi jurnalis dan aktivis HAM, negara semestinya menerapkan pelindungan maksimal bagi mereka, bukan justru sebaliknya.
Kebebasan berpendapat, berekspresi, dan menyampaikan kritik sudah jelas dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu, pihak-pihak yang membatasi, bahkan menghambat, aktivitas tersebut sama artinya melawan konstitusi. Maka, menjadi tugas negara untuk menjamin kemerdekaan jurnalis dan para aktivis HAM di Papua tanpa intimidasi dan teror. Tanpa adanya jaminan kebebasan ini, upaya penyelesaian konflik dan pelanggaran HAM di provinsi tersebut akan sia-sia.
Agar kasus yang menimpa Victor tak bernasib serupa dengan penanganan kekerasan terhadap jurnalis sebelumnya, perlu dibentuk tim independen untuk mengusut tuntas teror tersebut. Hasil pengungkapan kasus ini bisa menjadi bahan bagi penegak hukum untuk menyeret pelaku teror dan aktor di belakangnya ke pengadilan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo