Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nova Riyanti Yusuf
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Jiwa Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam masyarakat Indonesia tampaknya telah muncul gejala dan gangguan berbasis ketakutan akibat teror. Berbagai cacian, makian, sumpah serapah, dan wujud konflik virtual lainnya telah ditampilkan masyarakat di berbagai media sosial. Fenomena ini tampil begitu personal-dengan tolok ukur agama, moral, politik, ideologi, spiritual, etika atau pengaruh-pengaruh lainnya-sedangkan terorisme itu sendiri tidaklah personal. Berbagai referensi mengatakan bahwa terorisme hampir bisa dipastikan mempunyai tujuan politis sehingga wujud ketakutan akan terorisme pun ikut tunduk pada manipulasi politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindakan teror jarang sekali sebatas sebuah perwujudan amarah tak bertujuan. Tindakan itu cenderung direncanakan secara hati-hati. Teroris adalah manusia, yang hampir sama dengan manusia pada umumnya, yang juga mempunyai atasan. Organisasi teroris membutuhkan pemimpin sampai dengan bawahan dengan pendanaan yang datang dari banyak sumber yang konon mencengangkan. Karena itu, jejaring-jejaring terorisme pun harus melalui proses seperti perusahaan pada umumnya, yaitu perekrutan.
Selama ini berbagai teori terus menyoroti perilaku bom bunuh diri, tapi sungguh sangat sulit untuk mengenali seorang teroris. Misalkan pelaku di Surabaya adalah sebuah keluarga. Hal ini bertolak belakang dengan proxy konsep pemikiran sosiolog Prancis, Emile Durkheim. Menurut Durkeim, individu yang terpinggirkan, belum menikah, berpendidikan tinggi, dan ekonomi baik, berkemungkinan besar akan direkrut untuk menjadi pelaku bom bunuh diri.
Radikalisme harus juga dilihat dari kacamata psikologis dan problem psikososial. Proses perekrutan, yang dilanjutkan dengan penggemblengan dan indoktrinasi, sangatlah mungkin bersifat nepotisme. Hubungan kekeluargaan bisa sangat menentukan kedekatan dengan kelompok teroris. Tekanan sebaya atau keluarga juga sangat berperan. Faktor-faktor seperti tragedi personal dan keinginan balas dendam sangat potensial sebagai motivasi. Keterbatasan lapangan pekerjaan memberikan sebuah kemungkinan bahwa menjadi teroris adalah sebuah pilihan karier.
Terorisme sebagai sebuah fenomena sosial biasanya juga berakar pada konteks lokal. Ketahanan keluarga adalah salah satu jargon pentingnya pembangunan Indonesia dari unit terkecil. Tragedi hari ini menjadi sebuah satire yang memilukan pada saat media massa mancanegara mendeskripsikan bahwa peristiwa teror Indonesia dilakukan oleh "sebuah keluarga". Keluarga menjadi kata yang ternistakan.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Dimona, Israel, pada 2009 menunjukkan bahwa dukungan sosial dari teman adalah faktor protektif bagi remaja terhadap kemungkinan efek depresi akibat stres yang berkaitan dengan terorisme. Sementara itu, pada kasus yang terjadi di Surabaya belakangan ini, ada indikasi (yang belum terkonfirmasi) terjadinya pemaksaan dari orang tua terhadap anak-anaknya. Kalaupun tidak terjadi, ada banyak kemungkinan lain yang terjadi pada keluarga tersebut.
Akhir-akhir ini Indonesia cenderung lebih banyak mengalami serangan bom bunuh diri. Negara-negara yang mengalami perubahan tatanan sosial secara cepat tetapi tidak segera membuahkan hasil yang diinginkan dari peristiwa revolusioner tersebut dapat meningkatkan prevalensi bom bunuh diri, seperti Algeria (1992), Palestina (1993), bahkan Indonesia (1998).
Terorisme jelas memperdalam, memperburuk, dan memperkuat kebencian di Indonesia yang "masih terluka" akibat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang segregatif. Pemberitaan yang bias tentang terorisme memberi teroris oksigen publisitas yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Sesulit apa pun, beberapa hal harus dilakoni Indonesia saat ini. Pertama, kesehatan jiwa masyarakat, yang ditunjukkan dengan ketenangan diri, kemampuan menahan diri, dan menjaga persatuan, adalah hal utama untuk memotong suplai oksigen bagi teroris. Kedua, pemangku kepentingan yang bertanggung jawab atas keamanan bangsa dan negara terus bersemangat dan disemangati untuk berikhtiar dalam menangani terorisme. Terakhir, selain mendalami dan menangani manifestasi ketakutan di dalam masyarakat, profesional di bidang kesehatan jiwa harus berusaha untuk memfasilitasi dialog bagi semua pemangku kepentingan dalam diskursus teror.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo