Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Tetap Saja Diremehkan

Dpr-ri komisi vi perindustrian mendesak 2 perusahaan pma & pmdn agar memperlakukan buruhnya lebih manusiawi. ini berarti kita belum konsensus & konsisten tentang mekanisme hubungan perburuhan. (kom)

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIN 29 Oktober, DPR-RI Komisi VI Perindustrian (bukan Perburuhan, dan nampak-nampaknya kurang menguasai masalah perburuhan), mendesak 2 perusahaan PMA dan PMDN agar memperlakukan buruh-buruhnya lebih manusiawi. Sepintas lalu himbauan itu simpatik. Tetapi kalau diteliti justru berbau feodalistis: nasib buruh hanya tergantung pada itikad baik dan belas kasih "manusiawi" pengusaha. Itu membuktikan bahwa kita belum konsensus dan konsisten tentang mekanisme hubungan perburuhan dan belum menjadi public polic. Di DPR-RI, lembaga rakyat itu pun, belum menjadi sikap atau opini --apalagi 'hubungan perburuhan Pancasila' yang memang tidak/belum mempunyai mekanisme itu. Seharusnya anggota-anggota DPR yang terhormat itu bertanya kepada buruh-buruh dan pengusaha: "Sudah ada serikat buruh atau belum, sudah ada CLA (Colletiv Labour Agreement) atau belum," dsb. Kalau belum maka struktur perburuhan di situ adalah Coolie atau slavery- treatment (perlakuan perbudakan). CLA, hasil perundingan/musyawarah antara serikat buruh dan pengusha/manajemen, satu-satunya yang dapat menjamin hubungan perburuhan yang teratur, tenteram, pasti dan adil, yang akibat logisnya menjamin ketenangan kerja dan ketenangan usaha. Andai sudah ada CLA pun, masih harus dipertanyakan apakah diciptakan dalam musyawarah dalam posisi yang seimbang dan bebas antara buruh dan pengusaha. Sebagai diketahui, membicarakan hak mogok bagi kaum buruh masih tahu atau alergi bagi sementara pejabat. Padahal hak mogok adalah mutlak menjadi penunjang bagi posisi-runding (bargaining position) buruh. Musyawarah macam apakah yang dihasilkan posisi yang tidak seimbang, kecuali dikte sepihak dan belas-kasihan yang tiada jaminan, lebih-lebih dalam situasi pasaran kerja yang runyam sekarang ini? Seharusnya pemogokan tidak perlu terlalu dikhawatirkan dan dianggap momok. Malah sekali-sekali justru perlu: semacam latihan mencari keseimbangan objektif, agar pihak manajemen (biasanya manager-manager fasilitas dan pemilik, bukan manajemen profesional) tidak seenaknya menolak/menentang tuntutan buruh yang wajar -- demikian juga buruh tidak seenaknya mengajukan tuntutan yang tidak masuk akal. Hilangnya hak mogok berarti hilangnya kebebasan berserikat, hilangnya demokrasi hilangnya keadilan dan hilang pulalah partisipasi dan tanggung jawab buruh. Sebaliknya, buruh yang merasa diperlakukan tidak adil dengan diam-diam akan menggerogoti dan mencurangi perusahaan dan mendorong solidaritas (setia kawan) buruh senasib. Struktur perburuhan yang adil bagi buruh (fair labour practice) terletak pada hak bela diri dari kesewenang-wenangan, sedang belas kasihan harus dianggap penghinaan terhadap buruh. Upah buruh sekarang ini memang masih bersifat hunger-wages -- upah orang kelaparan yang terpaksa menyambung nafas. Tapi hal itu bagi buruh adalah nomor dua: tergantung beberapa faktor, antara lain ability to pay (kemampuan perusahaan dll), tetapi yang paling pokok ialah ibarat sebuah ungkapan: "Kemakmuran boleh besok, tetapi keadilan hari ini." Adalah ketidakadilan yang parah dan serius bila hak kebebasan berserikat bagi kaum buruh dibatasi. Baru-baru ini ada keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh Hakim Loedoe SH (kasus buruh Hotel Horison) yang nadanya menyepelekan/meremehkan kaum buruh -- dengan membatalkan keputusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat), dengan dalih "penguasa melanggar hukum" dan P4P Pengadilan semu, karena hirarkis di bawah suatu departemen (Depnaker-trans). Anggapan ini jelas keliru. P4P adalah badan otonom yang berdiri sendiri, hanya administrasinya dilaksanakan Depnakertrans. P4P yang diangkat Presiden (P4D diangkat Menteri) untuk menjamin obyektifitasnya terdiri dari 3 unsur: 5 wakil Pemerintah ( I dari Depnakertrans merangkap ketua dan 4 wakil departemen teknis), 5 wakil pengusaha (Puspi) 5 wakil buruh (FBSI). Bahwa kurang berfungsi dan efektif, adalah soal lain -- dan memang kenyataan, antala lain karena tidak mempunyai wewenang exekusi sendiri seperti labour court di negara-negara lain. Tetapi yang paling penting ialah: anggota-anggota P4P yang menjadi hakim-hakim buruh itu, yang harus menjadi pejabat-pejabat profesional yang berkecakapan tinggi, berpedoman antara lain: economic asibility, social desirability, politic acceptability. Honornya per bulan hanya Rp 12.500 (dua belas ribu lima ratus rupiah), P4D Rp 7.500. Kalau kita banding misalnya anggota-anggota labour court di Negara-negara ASEAN saja -- misalnya Malaysia -- kl Rp 650.000. Dari segi honor P4P ini, jelas dan gamblang bahwa nasib buruh disepelekan dan di remehkan. Nasib buruh baru ada dalam konsep-konsep pidato sebagai verbalisme dan dalam conversational polities. Industrial-peace di atur dengan tongkat komando dan pretensi-pretensi. Malaikat dan idealis konyol dari mana yang bisa kerja baik dengan honor yang tidak realistis dan tidak masuk akal ? Tentang pengadilan semu, sudah sering kita dengar dari pihak pengadilan negeri. Kalau buruh dianggap barang dagangan dan perselisihan perburuhan hanya perkara jual-beli tenaga, memang benar. Tetapi perselisihan perburuhan adalah industrial- relation problem antara semua aktor produksi tentang hubungan dengan syarat-syarat hubungan kerja dalam rangka co-determination yang tidak mungkin terjangkau oleh pasal-pasal KUHP (pengadilan negeri). Masalah perbuluhan masih halus diadahan dialog secara tuntas untuk mencari titik temu yang akan menjadi public-policy, yang merupakan practical problem solping. Buruh Indonesia, haruslah menolak radikalisme dan menolak perjuangan kelas ala Marxisme. Tetapi bak kata seorang pelawak wanita dari Jawa Timur: kalau terus-terusan begini, mana tahaaan! A.M. SIRAIT Sumur Batu Rt. 16 Rw. 16 Cem. Putih Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus