Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Tim Pemburu Nihil Prestasi

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA perlu membentuk tim baru pemburu harta koruptor. Soalnya, bagai kesebelasan sepak bola nasional, tim yang ada sekarang boleh dikata tak pernah pulang membawa prestasi. Padahal kunjungan ke berbagai negara yang diduga menjadi bandar simpanan harta haram para koruptor cukup kerap dilakukan. Hasilnya ternyata hanya membuang-buang dana dan tenaga.

Contoh terakhir adalah perburuan harta para pembobol Bank Century di luar negeri. Kendati berbagai aset itu sempat dibekukan-yang menurut Jenderal Susno Duadji nilainya lebih dari Rp 11 triliun-belum sepeser pun yang dapat dibawa pulang ke Tanah Air. Bahkan kini beredar kabar, sebagian harta itu sudah dicairkan pihak lain, antara lain karena pihak Indonesia terkesan tak serius meyakinkan pihak pengadilan di negara tempat harta itu dibekukan.

Kesan ini mengkhawatirkan. Kemungkinan penyebabnya hanya dua hal: tim ini secara teknis tidak kompeten atau-lebih gawat-secara integritas masuk angin. Dari sisi teknis, kerumitan masalah hukum untuk menyita aset di luar negeri memang cukup tinggi. Namun Indonesia seharusnya tak kekurangan tenaga yang mampu mengatasinya. Soalnya, negara-negara Afrika yang kapasitasnya masih di bawah kita pun ternyata mampu melakukannya.

Nigeria, misalnya, berhasil merebut kembali US$ 1,2 miliar yang disimpan Jenderal Sani Abacha di Swiss. Tim pemburu harta koruptor dari Uganda dan Ghana juga berhasil menyita berbagai aset di Inggris dan Prancis. Filipina pun mampu mengambil sebagian harta yang dicuri Ferdinand Marcos, mantan presidennya yang amat korup.

Indonesia, yang melakukan perburuan setelah era reformasi, seharusnya lebih berhasil ketimbang negara-negara di atas. Apalagi kerja sama internasional dalam memburu aset para koruptor kini jauh lebih baik, terutama setelah Konvensi Internasional Pemberantasan Korupsi Persatuan Bangsa-Bangsa mulai diberlakukan pada 14 Desember 2005. Konvensi yang disepakati oleh 130-an negara itu-termasuk Indonesia-mewajibkan semua anggota PBB saling membantu upaya perburuan harta koruptor yang dibawa kabur ke negara lain.

Banyak negara kini lebih agresif memastikan harta koruptor dari negara lain tak masuk ke sistem perbankan nasional mereka. Pemerintah Indonesia, misalnya, mengetahui dibekukannya uang Direktur Utama Bank Mandiri (ketika itu) E.C.W. Neloe di Swiss ataupun uang Tommy Soeharto di Guernsey berkat pemberitahuan bank-bank asing tersebut. Pemerintah Indonesia kemudian diberi waktu untuk membuktikan di pengadilan setempat bahwa uang-uang yang dibekukan sementara ini adalah uang hasil kejahatan yang wajib disita.

Bahwa tim pemburu Indonesia ternyata nyaris tak terdengar prestasinya, tentu menimbulkan pertanyaan-bahkan syak wasangka. Jangan-jangan problem utamanya adalah masalah integritas, bukan kapasitas. Kecurigaan ini bukannya tanpa dasar. Penanganan hukum kasus Gayus Tambunan, petugas pajak yang gemar berburu suap, menggambarkan dengan jelas bagaimana polisi, jaksa, hakim, dan pengacara bekerja sama berebut harta jarahan dengan membuat tuntutan jaksa tumpul. Mereka tak peduli bahwa harta rakyat yang dicuri tak kembali ke negara selama kantong-kantong pribadi mereka semakin gemuk. Memang pada persidangan terkuak bahwa tak semua aparat hukum menerima suap, tapi yang menolak pun ternyata juga tak berani melaporkan kejahatan ini.

Dalam kondisi budaya korup seperti ini, rasanya sulit mengharapkan tim pemburu harta koruptor yang hanya terdiri atas para penegak hukum dapat berfungsi dengan efektif. Pemerintah harus melibatkan pihak luar yang mempunyai kompetensi dan integritas tinggi dalam tim yang baru. Bahkan, seperti dalam kasus penanganan terorisme, bantuan tenaga ahli dari negara sahabat dan badan internasional pun perlu diterima dengan tangan terbuka.

Kita tentu ingin tim Indonesia sukses seperti tim Nigeria di bawah Nuhu Ribadu. Tim ini berhasil merebut aset miliaran dolar antara lain berkat bantuan Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan antikorupsi Inggris, dan lembaga swadaya masyarakat International Center for Asset Recovery (ICAR). Keberadaan para pakar dari luar ini membuat tim pemburu lebih kebal terhadap bahaya masuk angin dan tekanan politik dalam negeri.

Mengingat Indonesia termasuk kategori sepuluh besar dunia dalam hal korupsi, tim pemburu harta koruptor sebaiknya berbentuk permanen seperti Badan Antiterorisme. Selain karena dampak korupsi lebih membinasakan ketimbang ulah teroris, pelakunya jauh lebih banyak dan melibatkan orang-orang di lingkaran kekuasaan.

Bila tim seperti ini dapat dibentuk, para koruptor tak hanya akan menerima hukuman penjara, tapi juga akan dipastikan menjadi miskin. Ini akan mempunyai efek jera yang luar biasa, karena yang paling ditakutkan para koruptor adalah jatuh miskin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus