Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
SUMBER bau amis putusan kontroversial Mahkamah Agung yang membatalkan hukuman bagi bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung, mulai terkuak. Syamsul Rakan Chaniago, satu dari tiga hakim agung ad hoc tindak pidana korupsi yang mengadili perkara ini, ternyata sempat bertemu dengan pengacara Syafruddin, Ahmad Yani, dua pekan sebelum vonis dijatuhkan. Sang hakim harus ditindak tegas dan putusan perkara ini ditinjau kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebelumnya, Syafruddin divonis 15 tahun penjara dalam kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas untuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang diterima Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuding Syafruddin menghapuskan sisa utang BDNI tanpa dasar yang jelas. Akibat kebijakan itu, pemilik BDNI, Sjamsul Nursalim, mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam putusan di tingkat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Syafruddin disebut melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim, serta Menteri Koordinator Perekonomian yang juga menjabat Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Dengan bebasnya Syafruddin, berguguran pula kasus yang menjerat Sjamsul, Itjih, dan Dorodjatun.
Sejak awal, putusan Mahkamah Agung dalam perkara ini terasa janggal. Bagaimana mungkin tiga hakim bisa memiliki tiga pendapat berbeda dan putusan akhir hanya diambil berdasarkan kategori pendapat mereka. Selain Syamsul Rakan Chaniago yang menilai perkara ini sebagai kasus perdata, ada hakim Mohamad Askin yang menyebutkan perkara Syafruddin adalah soal administrasi. Hanya hakim Salman Luthan yang setuju memvonis Syafruddin bersalah. Walhasil, Syafruddin bebas karena Askin dan Syamsul setuju bahwa perkaranya bukan perkara pidana.
Karena itu, temuan Badan Pengawasan Mahkamah Agung mengenai pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang dilakukan Syamsul Rakan patut diapresiasi. Namun sanksi dari Badan Pengawasan berupa pencabutan kewenangan yudisial Syamsul selama enam bulan saja kurang tepat. Apalagi masa pensiun Syamsul memang jatuh tepat enam bulan ke depan. Hukuman untuk hakim lancung itu seharusnya diperberat. Dia pantas diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya.
Komisi Yudisial harus menindaklanjuti perkara ini dan menjatuhkan sanksi terberat untuk Syamsul. Sebagai lembaga yang mengemban amanat konstitusi untuk menjaga kehormatan, martabat, dan perilaku hakim, Komisi tidak bisa membiarkan hakim seperti Syamsul lolos dari jerat sanksi terberat.
Bukti-bukti pelanggaran Syamsul tak terbantahkan. Ada video rekaman CCTV yang membuktikan Syamsul bertemu dengan Ahmad Yani di sebuah kafe di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. Pertemuan itu berlangsung hampir satu jam. Ada juga bukti percakapan telepon antara Syamsul dan Ahmad Yani, dua pekan sebelumnya. Semua ini terjadi ketika majelis hakim kasus Syafruddin sedang intensif membahas perkara itu.
Komisi Pemberantasan Korupsi harus menggunakan fakta yang terungkap dalam pelanggaran etika Syamsul sebagai bukti baru dalam proses peninjauan kembali perkara Syafruddin. Upaya pengusutan korupsi dalam kasus penerbitan surat keterangan lunas BLBI tak boleh terhambat lagi. Tentu Mahkamah Agung tak punya alasan untuk tidak meluruskan kejanggalan putusan perkara ini. Martabat dan integritas Mahkamah sebagai benteng terakhir keadilan di negeri ini sedang dipertaruhkan.