Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Cara Menulis Surat yang Benar

Sebagian besar pola surat-menyurat perlu dibenahi. Di antaranya penggunaan yth, bersama ini, dan terima kasih.

23 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTENGAHAN Mei lalu, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia mengirimkan surat permohonan kepada Presiden untuk meninjau ulang Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law. Berita ini mengingatkan saya pada sebagian besar pola surat-menyurat yang menurut hemat saya perlu dibenahi. Di antaranya tentang penggunaan kata yth, ungkapan bersama ini, dan ungkapan terima kasih pada bagian penutup serta penyebutan nama instansi atau perusahaan di atas tanda tangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada dasarnya, surat merupakan ungkapan isi hati pengirim kepada penerima. Karena itu, sudah seyogianya surat diungkapkan dengan cara yang lebih “hangat”. Sebut saja pembuka surat yang selalu mengungkapkan sapaan santun berupa dengan hormat. Dalam relasi sosial, penyebutan nama menjadi simbol kedekatan dan keakraban. Atas dasar inilah, jauh lebih “hangat” kala sapaan pembuka ditulis dengan ungkapan Saudara Tri yang terhormat atau Ibu Rara yang terhormat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagian lain yang perlu diperhatikan adalah penggunaan akronim yth sebagai kependekan dari yang terhormat. Secara kaidah bahasa tidak ada yang salah dalam penggunaannya. Namun, dalam surat-menyurat yang “hangat”, penggunaan yth bisa ditafsirkan oleh penerima atau pembaca surat sebagai penghormatan basa-basi karena sekadar mengikuti kebiasaan banyak orang dalam menulis surat. Lebih dari itu, pemakaian yth juga bisa ditafsirkan sebagai ketiadaan rasa tulus dalam menyapa karena malas mengetik atau menulis dengan versi lebih panjang.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penggunaan bersama ini untuk segala surat, padahal tidak semua surat layak menggunakan ungkapan itu. Sebab, kandungan makna bersama ini adalah terlampir bersama surat ini, yang berarti menunjukkan keberadaan lampiran. Jika surat yang dimaksud tidak menyertakan lampiran satu pun, seharusnya ungkapan bersama ini tidak digunakan.

Kesalahan semacam itu sering saya temui saat mendapat surat permohonan untuk menjadi juri dalam lomba menulis atau menjadi pemberi materi sebuah seminar. Sebenarnya secara kata per kata sudah dapat ditebak maknanya dengan jelas bahwa kata bersama tentu berarti disertai dengan yang lain—tidak sendirian atau satu-satunya. Sayangnya, pemaknaannya sering luput karena kebiasaan masyarakat kita yang cenderung memilih pokoke melu (yang penting ikut sebelum-sebelumnya) daripada menelaahnya lebih dulu.

Selanjutnya yang tak kalah penting adalah ungkapan terima kasih di bagian penutup surat. Telah menjadi kebiasaan umum bahwa setiap surat seolah-olah “wajib” diakhiri dengan ungkapan terima kasih dan minta maaf. Padahal, dalam beberapa kasus tertentu, hal seperti itu sebenarnya tidak perlu dilakukan. Sebut saja pengiriman surat kepada pejabat pemerintah tentang kewajiban-kewajibannya dalam menjalankan tugas.

Karena memang sudah menjadi tugasnya untuk memperhatikan dan membalas setiap surat yang masuk, ungkapan seperti Kami sampaikan terima kasih atas perhatian Bapak/Ibu/Saudara seharusnya tidak perlu disampaikan. Ungkapan terima kasih seolah-olah menyiratkan makna tentang kebaikan ataupun kemurahhatian pejabat yang bersangkutan, padahal hal itu memang sudah menjadi kewajibannya—suka atau tidak suka. Kalimat penutup yang bisa diketik atau ditulis adalah cukup Demikian surat ini atau sejenisnya.

Hal terakhir yang perlu diingat dalam surat-menyurat adalah ketika melengkapi bagian tanda tangan. Bagian ini biasanya terdiri atas dua hal, yakni tanda tangan dan nama cum jabatan penulis surat. Pola yang paling lazim digunakan adalah tanda tangan, lalu di bawahnya disebutkan nama beserta jabatan. Meskipun seperti itu, tak jarang ditemui pola tak lazim, seperti nama perusahaan di atas tanda tangan, lalu nama beserta jabatan di bawah tanda tangan.

Pola ini bisa ditafsirkan oleh penerima atau pembaca surat bahwa yang bertanggung jawab terhadap isi surat adalah perusahaan, bukan penulis surat secara pribadi. Penulis surat hanya menuliskan kemauan perusahaan, tapi tanggung jawab penuh dipegang oleh perusahaan. Jika yang dimaksud penulis adalah keinginan pribadi yang relevan dengan jabatannya saat ini, seharusnya tidak perlu menyebutkan nama perusahaan di atas tanda tangan.

Harapan saya, tradisi surat-menyurat terus dilakukan dengan “hangat” sekaligus sesuai dengan akal sehat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di versi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Yang Perlu Diingat dalam Surat-menyurat"

Akhmad Idris

Akhmad Idris

Dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bina Insan Mandiri Surabaya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus