Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBAGAI saran agar berhati-hati bisa saja diberikan kepada pengguna kartu transaksi anjungan tunai mandiri—biasa disebut kartu ATM. Misalnya selalu merahasiakan nomor identitas pribadi atau PIN, memeriksa detail mesin, dan memastikan tak ada yang mencurigakan di sekitarnya sebelum bertransaksi. Tapi, setelah terungkap kasus pembobolan rekening bank dengan kartu ATM dua pekan lalu, kelihatan betapa bank belum atau malah tidak menjalankan sejumlah hal yang mestinya justru dikerjakan.
Sejumlah hal itu sesungguhnya merupakan daftar yang tak bisa ditawar. Mengabaikannya bisa diartikan bahwa bank tak memahami asas penting dalam berhubungan dengan nasabahnya, khususnya pada saat genting: keterbukaan. Tanpa keterbukaan, bisa timbul kesan bank hanya mau menempatkan diri semata sebagai penerbit kartu, tanpa memperhatikan kepentingan nasabah, yang tentu saja secara hukum tak bisa diterima.
Memang benar, nasabah patut memperhatikan pekerjaan rumahnya: daftar saran yang harus dijalani demi keamanan dan kenyamanan bertransaksi melalui ATM. Tapi tak mustahil nasabah suatu saat tertipu sehingga data kartunya jatuh ke tangan penjahat. Bahkan, jika nasabah telah mengerjakan prosedur keamanan yang paling pelik sekalipun, tetap saja ada bagian yang sama sekali di luar kemampuannya. Risiko inilah yang mesti diambil alih oleh bank.
Selain menyediakan asuransi, bank bisa ikut serta membangun tameng, yakni melalui penerbitan kartu berteknologi cip. Masalahnya, jenis kartu yang sudah dipakai pada kartu kredit ini masih dianggap mahal. Pengadaannya pun perlu waktu. Katakanlah alasan ini bisa diterima. Dan andaikan dipahami juga bahwa kartu cip bukanlah benteng antibobol, bukan berarti bank kemudian bisa mengklaim telah menjalankan segala langkah pencegahan. Bank tetap tak bisa memilih bersikap tertutup ketika terjadi kejahatan yang merugikan nasabahnya.
Pada saat semacam itu, keterbukaan dalam menjalin komunikasi dengan nasabah justru merupakan keutamaan. Penggantian dana nasabah korban pembobolan—satu kewajiban yang berlaku universal, sebenarnya—tak meniadakan keharusan ini. Bank dituntut proaktif dalam hal keterbukaan ini.
Keterbukaan itu tidak perlu sampai seperti yang terjadi di New York, misalnya. Karena laporan seorang nasabah yang mengenali skimmer, alat pembaca data kartu, dan kamera tersembunyi di sebuah ATM, seorang manajer cabang sebuah bank di sana mematikan mesin ATM itu dan mengumumkannya kepada semua nasabah. Bank di sini hanya perlu berkomunikasi dengan jujur, menyediakan informasi akurat, tepat waktu, dan berguna mengenai seberapa jauh penyalahgunaan data kartu terjadi. Bank mesti menjelaskan langkah yang sudah dan akan dilakukan, serta hak-hak nasabah bila kejahatan terjadi.
Informasi itu bukan saja bisa membantu nasabah memahami situasi, melainkan juga menjadi dasar untuk terus-menerus membangun kehati-hatian dan kepercayaan pada bank. Pencurian data kartu ATM, bagaimanapun, merupakan kejahatan yang sudah meluas di seluruh dunia. Tahun lalu Asosiasi Industri ATM memperkirakan tak kurang dari US$ 1 miliar (hampir Rp 10 triliun) lenyap dari rekening nasabah bank lewat pembobolan ATM. Ancaman akan terus ada. Kewaspadaan bagi nasabah dan keterbukaan bagi pihak bank karena itu merupakan keniscayaan. Tanpa hal ini, siapa pun bisa menjadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo