Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ketidakpatuhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat di pusat dan daerah dalam melaporkan harta kekayaan mereka ke Komisi Pemberantasan Korupsi sungguh memprihatinkan. Tak hanya jadi contoh buruk, perilaku semacam ini juga kontraproduktif bagi gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sepanjang tahun lalu, komisi antikorupsi mencatat hanya 21,42 persen dari 536 anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menyetorkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Tingkat kepatuhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahkan lebih parah. Ada empat DPRD provinsi yang semua anggotanya tak menyerahkan laporan kekayaan sama sekali. Mereka adalah anggota DPRD DKI Jakarta, Lampung, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ini bukan tren baru. Dalam lima tahun terakhir, kepatuhan para legislator menyerahkan LHKPN sungguh buruk. Rapor mereka hanya membaik pada 2017, ketika lebih dari 90 persen legislator pusat melaporkan kekayaan, tapi kembali anjlok pada tahun berikutnya. Ketidakpatuhan serupa tak ditemukan pada pejabat publik di lembaga lain. Sekitar 66 persen pejabat eksekutif dan 85 persen pejabat badan usaha milik negara sudah melaporkan hartanya.
Rendahnya kesadaran anggota Dewan dalam melaporkan harta kekayaan terkait dengan tidak adanya sanksi tegas untuk mereka. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya mengatur sanksi administratif bagi pejabat yang tidak melapor. Di lingkungan eksekutif, yudikatif, serta badan usaha milik negara dan daerah, sanksi itu bisa dikaitkan dengan kebijakan sumber daya manusia di lembaganya. Model sanksi semacam ini tak mempan untuk wakil rakyat.
Laporan kekayaan itu sangat penting untuk mencegah korupsi. Transparansi harta penyelenggara negara merupakan salah satu alat utama untuk mendeteksi perilaku lancung pejabat publik. Apalagi korupsi di badan legislatif masih menjadi masalah kronis di negeri ini. Menurut data KPK, sepanjang 2004-2018, dari total 911 orang yang terjerat korupsi, seperempatnya merupakan legislator di pusat dan daerah.
Untuk itu, sudah saatnya sistem pelaporan harta kekayaan anggota DPR dan DPRD diubah. Demi mempermudah wakil rakyat, KPK bisa bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan agar surat pemberitahuan pajak tahunan para legislator, misalnya, diperlakukan sebagai LHKPN. Dengan demikian, anggota Dewan tak perlu repot lagi menyusun dua laporan harta ke dua institusi.
Selain itu, sanksi tegas bagi mereka yang tidak melaporkan kekayaan perlu dipikirkan. Di Albania, misalnya, pejabat yang tak melaporkan kekayaannya akan dihukum kurungan enam bulan. Di Thailand, mereka yang lalai akan dibebastugaskan dari jabatan. Tanpa sanksi pidana yang tegas, kepatuhan para legislator sulit diperbaiki. Berbeda dengan pejabat publik di lembaga lain, para anggota DPR tak punya atasan ataupun kebijakan promosi, mutasi, dan demosi. Walhasil, tidak ada pilihan selain merevisi undang-undang yang mengatur soal ini.
Sementara menunggu revisi peraturan, KPK bisa mulai mempublikasikan nama-nama pejabat yang tak menyerahkan LHKPN. Selain memberikan efek jera, bagi para legislator yang mencalonkan diri kembali di Pemilihan Umum 2019, pengumuman itu bisa mengurangi peluang mereka terpilih kembali.