Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NERACA pembayaran Indonesia untuk tahun anggaran yang berakhir Maret 1989 nanti ternyata lebih buruk dari yang diperkirakan setahun lalu. Bukan saja harga minyak anjlok di bawah US$ 16 per barel, 6 bulan setelah RAPBN disampaikan kepada DPR, tapi juga karena impor ternyata akan lebih besar. Dan fluktuasi kurs mata uang mengakibatkan pembayaran cicilan utang dan bunganya menjadi 0,5 milyar dolar lebih banyak. Pada pos "selisih yang belum dapat diperhitungkan", ternyata ada angka negatif US$ 0,5 milyar, yang kemungkinan besar merupakan aliran modal ke luar negeri. Ternyata, masih ada pelarian modal ke luar negeri, yang mungkin bukan semata-mata merupakan uang yang diparkir, tapi mungkin pula sebagian mencerminkan pembelian perusahaan-perusahaan di luar negeri, yang akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh para pengusaha Indonesia. Apabila pencairan utang baru dari luar negeri tidak dipercepat, cadangan devisa Indonesia bisa merosot US$ 1,1 milyar. Hanya dengan tambahan utang baru sajalah kemerosotan cadangan devisa bisa ditahan hanya US$ 0,2 milyar saja. Ini beda dengan proyeksi semula, sewaktu diperkirakan neraca pembayaran akan surplus US$ 0,8 milyar. Untuk tahun anggaran 1989-90, neraca pembayaran diperkirakan surplus US$ 0,9 milyar. Bagaimanakah kemungkinan surplus ini bisa dicapai? Yang jelas asumsi harga minyak US$ 14 per barel terasa sangat konservatif, melihat perubahan yang cepat pada harga minyak akhir-akhir ini. Sebab, bila OPEC teguh dan melaksanakan dengan konsekuen apa yang sudah disepakati bersama, bukan tak mungkin pasar akan memberi "premium" kepada harga minyak. Dan ini sudah mulai tampak ketika akhir minggu lalu harga jenis West Texas Intermediate melonjak menjadi US$ 18,14 untuk penyerahan Februari. Dan mesti diingat bahwa penyesuaian harga minyak ini masih akan berlangsung terus selama kuartal satu tahun ini. Pada tahun anggaran 1989-90 ekspor nonmigas Indonesia diproyeksikan akan mencapai US$ 13 milyar, setelah tahun ini mencapai US$ 11 milyar. Kenaikan US$ 2 milyar ini akan tergantung pertumbuhan ekonomi negara industri tahun ini. Para pakar mulai mengkhawatirkan efek kenaikan suku bunga di negara industri akhir-akhir ini, yang bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi. Juga akan tergantung ke arah mana cuaca proteksionisme akan berubah. Tapi ada satu hal yang bisa menghibur para eksportir Indonesia. Kurs efektif riil rupiah terhadap sekelompok mata uang lain belum cukup terkikis, lebih dari dua tahun setelah devaluasi. Inflasi di Indonesia yang sudah mulai rendah, dan bahkan sudah sejajar dengan inflasi di negara partner dagang kita, akan memperkukuh kurs efektif riil rupiah, hingga keperluan penyesuaian kurs untuk memperkuat daya saing ekspor untuk sementara bisa dikesampingkan. Alasan untuk gejolak kurs rupiah terhadap mata uang lain lebih lemah pada saat alasan untuk lebih stabilnya rupiah makin kuat. Apabila ada gerakan kurs, maka gerakannya akan pelan seperti yang berlangsung selama ini. Tingkat depresiasi rupiah plus bunga deposito dalam mata uang asing tak akan melebihi bunga deposito rupiah. Ini berarti selama satu dolar berada di bawah Rp 1.900, Januari 1990, selama itu pula rupiah akan aman di sini. Di lain pihak, impor diproyeksikan meningkat menjadi US$ 13,2 milyar untuk tahun anggaran 1989-90. Ini merupakan kenaikan US$ 1,8 milyar dari impor tahun ini. Padahal, kenaikan bantuan proyek pemerintah saja (yang seluruhnya impor) berjumlah US$ 1,4 milyar. Kurang klop rasanya kalau kenaikan impor swasta cuma akan berjumlah US$ 0,4 milyar. Tahun lalu, dari kenaikan seluruh impor sebesar US$ 1,5 milyar, sejumlah US$ 0,9 milyar berasal dari kenaikan bantuan proyek pemerintah. Ini menunjukkan bahwa kenaikan impor yang berasal dari sektor nonpemerintah mencapai 40% dari seluruh kenaikan impor. Kalau persentase ini digunakan untuk perhitungan proyeksi, maka kenaikan impor bisa mencapai US$ 2,3 milyar, US$ 0,5 milyar lebih tinggi dari proyeksi RAPBN 1989-90. Dan harus diingat bahwa deregulasi masih akan terus menarik penanaman modal baru di bidang industri, yang masih memerlukan impor yang makin besar. Tapi sekiranya kenaikan impor akan melebihi proyeksi, kenaikannya akan bisa tertutup dari ekspor migas yang mungkin sekali akan lebih tinggi dari yang diproyeksikan RAPBN. Dengan demikian, seandainya ekspor nonmigas bisa mencapai US$ 13 milyar, dan realisasi pinjaman baru dari luar negeri tetap US$ 6,4 milyar, serta tak ada perubahan kurs dolar terhadap mata uang lain secara mencolok yang menambah pembayaran cicilan utang dan bunga, maka kemungkinan besar pada akhir tahun anggaran 1989-90 nanti, neraca pembayaran akan menghasilkan surplus sekitar US$ 1 milyar, yang berarti tambahnya cadangan devisa pemerintah sekitar 20%. Defisit transaksi berjalan tahun ini akan mencapai US$ 1,9 milyar, dan US$ 2,4 milyar tahun depan. Repelita V tidak mengharapkan transaksi berjalan mengalami surplus seperti pada awal 1980-an. Jumlah kumulatif defisit ini dan pembayaran utang selama 5 tahun mendatang akan mencapai US$ 29,1 milyar, hampir 6 kali lipat cadangan devisa yang dimiliki pemerintah sekarang. Untuk menutup pembayaran ini, berarti pemerintah selama 5 tahun mendatang ini masih memerlukan tambahan utang baru dari luar negeri US$ 30 milyar, supaya cadangan devisa tetap dengan aman bisa dipertahankan. Kerawanan neraca pembayaran dalam beberapa tahun terakhir ini merupakah pertimbangan utama dalam perumusan kebijaksanaan makro ekonomi Indonesia. Kebijaksanaan anggaran yang ketat selama ini mencerminkan sebuah kekhawatiran bahwa kelonggaran akan mendorong impor. Kekhawatiran ini belum sepenuhnya hilang. Akibatnya terjadi kelumpuhan kebijaksanaan fiskal sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, seperti yang terjadi di negara-negara industri. Kalau sudah demikian, maka harapan terletak pada kebijaksanaan moneter. Dalam 6 bulan terakhir ini, jumlah uang beredar secara riil naik 2,5%, setelah sejak 1986 dalam nilai riil hampir tak bertambah. Setelah APBN kurang berfungsi sebagai penggerak kegiatan ekonomi, sekarang terserah kepada Bank Indonesia, sejauh mana dia mau mengangkat pertumbuhan ekonomi dari tingkatnya yang sekarang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo