Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dianto Bachriadi
Profesor Tamu di Pusat Kajian Asia Tenggara, Kyoto University, Jepang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan ketuan-tanahan (landlordism) dan penguasaan tanah skala raksasa muncul secara lebih terbuka sejak disebut dalam debat calon presiden putaran kedua. Namun di Indonesia sekarang ini yang sering disebut sebagai tuan tanah atau "pemilik" tanah dalam jumlah raksasa adalah badan usaha pemegang konsesi pengusahaan lahan, seperti untuk perkebunan dan pertambangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsesi-konsesi tersebut bukanlah hak kepemilikan atas tanah, melainkan hak terbatas untuk mengusahakan tanah dan sumber daya alam tertentu di tanah negara. Bentuknya beragam, seperti hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB), serta izin pengusahaan kawasan kehutanan (IUK) dan pertambangan (IUP), yang dalam beberapa kasus masih ada yang berbentuk kontrak karya. Mesti dicatat pula, IUK dan IUP (atau kontrak karya) bukanlah sejenis "hak atas tanah", melainkan hanya hak untuk mengelola sumber daya di satu area tertentu.
Tanah-tanah itu hanya dikuasai dalam satu waktu tertentu, jadi tidak dimiliki. Menurut konstitusi, tanah-tanah itu milik seluruh bangsa Indonesia dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Wewenang untuk mengaturnya ada pada negara.
Tapi benarkah kewenangan negara itu telah dijalankan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat? Berbagai kajian ilmiah dan proses persidangan menunjukkan banyak tanah negara merupakan hasil "rampasan" dari tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai dan dimiliki oleh rakyat setempat secara sosial dan budaya tapi belum didaftarkan dan memperoleh sertifikat. Inilah penyebab utama konflik agraria yang tidak berkesudahan.
Masalah lain, tanah-tanah dengan status hak guna, misalnya, bisa dipindah tangan alias diperjualbelikan, termasuk untuk dijadikan jaminan kredit di bank. Ini cukup aneh sebetulnya. Tanah itu sesungguhnya tanah pinjaman dari negara tanpa biaya, bukan sewa.
Lantas bagaimana mereka dapat memperjual-belikan atau menggadaikan sertifikat barang pinjamannya? Jika tidak mengikuti logika komodifikasi dalam cara produksi kapitalis, akan sulit memahaminya. Ini sebetulnya bentuk paling nyata dari akumulasi dengan cara pengambilalihan (Harvey, 2003).
Masalah lain adalah masa berlaku suatu hak guna. Hak guna usaha, misalnya, berlaku selama sekitar 25 tahun dan dapat diperpanjang. Hanya dengan sedikit usaha administrasi, pemegang HGU dapat menguasai tanah hingga 100 tahun dan mungkin lebih.
Dua masalah itu sudah menunjukkan bahwa tanah-tanah negara itu sudah nyaris menjadi "tanah hak milik". Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah agar keadilan agraria terwujud, landlordism berkurang, serta penguasaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat terjamin?
Pertama, tidak bisa tidak, tanah-tanah yang berstatus tanah negara tapi sudah dikuasai cukup lama oleh masyarakat dan secara sosial-budaya diakui oleh lingkungannya segera dikukuhkan kepemilikannya.
Kedua, kebijakan pembatasan penguasaan tanah dalam bentuk apa pun dijalankan secara konsisten dengan penegakan hukum yang juga tegas. Aturan mengenai hal ini sudah ada tapi kurang lengkap, khususnya untuk tanah-tanah perkotaan dan nonpertanian. Penguasaan tanah negara melalui berbagai macam hak guna dan hak usaha juga harus dibatasi secara tegas. Dengan begitu, nanti kita tidak lagi akan menemukan satu atau beberapa perusahaan besar yang menguasai tanah untuk perkebunan sawit hingga jutaan hektare, misalnya, tapi jutaan petani hanya melongo atau terpaksa membuka hutan lalu dikriminalisasi.
Ketiga, tanah-tanah negara yang dikuasai secara tidak aktif atau ditelantarkan karena berbagai alasan harus segera dicabut haknya. Unit-unit pencegahan korupsi harus mengendus sampai ke sini karena banyak praktik penentuan status lahan hak guna tanah yang dimanipulasi.
Keempat, seseorang atau badan hukum dibatasi untuk dapat menguasai tanah dalam jumlah yang melebihi ketentuan hukum, seperti untuk kegiatan pertanian dengan cara bagi hasil atau sewa lahan. Kesempatan harus juga diberikan kepada petani atau pihak lain yang sering kali harus kalah karena pasar kepenyakapan (land tenancy market) atau persewaan tanah sudah dikuasai oleh segelintir orang. Aturan mengenai hal ini sudah jelas tapi tidak lagi dijalankan.
Kelima, penghitungan mengenai ketimpangan penguasaan tanah. Pemerintah harus menghitung kebutuhan tanah untuk mengatasi ketimpangan itu dan membuat berbagai kebijakan untuk mencegah terjadinya rekonsentrasi. Setelah itu, baru diadakan redistribusi tanah negara kepada masyarakat setempat yang betul-betul memerlukan tanah atau yang menggantungkan hidupnya dari tanah.
Itulah langkah-langkah untuk membasmi landlordism. Kelimanya pada dasarnya sebagian dari kebijakan reforma agraria yang dibutuhkan Indonesia saat ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo