Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kisah Meiliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, sekali lagi menunjukkan bahaya aturan penodaan agama. Gara-gara pasal karet ini, ia dituntut hukuman 1,5 tahun penjara di Pengadilan Negeri Medan. Meiliana dianggap menodai agama hanya karena memprotes pengeras suara masjid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Meiliana tidak perlu diadili jika sejak awal penegak hukum mendudukkan perkara secara jernih. Perempuan 44 tahun itu diproses hukum karena keluhan yang ia sampaikan pada dua tahun lalu. Meiliana mempersoalkan pengeras suara masjid yang memekakkan telinganya kepada seorang tetangga. Keluhan yang sama ia sampaikan kepada pengurus masjid yang mendatangi rumahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Suami Meiliana, Lian Tui, kemudian meminta maaf kepada pengurus masjid seumpama keluhan istrinya menyinggung mereka. Persoalan semestinya selesai sampai di sini. Tapi masyarakat yang telanjur terhasut rumor malah mengepung dan melempari rumah Meiliana. Anehnya, justru Meiliana yang dilaporkan ke polisi. Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara pun latah mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana menista agama.
Polisi dan jaksa semestinya tidak sembarangan menjerat Meiliana dengan Pasal 156 dan Pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 156 merupakan warisan kolonial Belanda. Aturan ini dikenal lentur dan mudah disalahgunakan. Ancaman hukuman 4 tahun penjara bagi "penebar kebencian atau permusuhan terhadap golongan masyarakat" selama ini digunakan secara serampangan.
Begitu pula Pasal 156-a KUHP, yang disisipkan pada era Presiden Sukarno. Siapa pun bisa dianggap memusuhi agama dan diseret ke penjara. Padahal semangat awal aturan ini sebetulnya demi melindungi "agama resmi" dari aliran yang dianggap sesat.
Penerapan kedua pasal itu terhadap Meiliana jelas mengada-ada. Proses hukum tersebut terkesan dipaksakan demi meredakan tekanan massa. Sikap penegak hukum yang sembrono seperti ini terjadi hampir di semua kasus penodaan agama.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat semestinya menghapus sama sekali delik itu dalam Rancangan KUHP. Selama masih terus dicantumkan, pasal karet ini akan terus memakan korban. Aturan ini amat janggal dalam republik yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ketentuan yang cenderung mengekang kebebasan berpendapat itu jelas tidak sesuai dengan konstitusi.
Dalam kasus Meiliana, sungguh jelas pelanggaran konstitusi itu. Ia semestinya justru dilindungi karena, sebagai warga negara, ia punya hak atas kehidupan yang tenteram dan tidak terganggu oleh suara pengeras di masjid. Meiliana juga korban dari rumor dan tekanan massa yang mengatasnamakan agama.
Hakim Pengadilan Negeri Medan mesti meluruskan proses penegakan hukum yang melenceng. Hukum tidak boleh tunduk kepada tekanan massa dan kelompok mayoritas. Demi keadilan, hakim sebaiknya membebaskan Meiliana dari semua dakwaan.