Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sutradara : Aaron Sorkin
Skenario : Aaron Sorkin
Pemain : Eddie Redmayne, Alex Sharp, Sacha Baron Cohen, Jeremy Strong, John Carroll Lynch, Frank Langella, Michael Keaton
***
“Keadilan dan hukum, tuan Du Toit, laksana saudara sepupu jauh. Dan di Afrika Selatan, keduanya tak saling bersapa.”
Itulah yang dikatakan Ian McKenzie (diperankan Marlon Brando) , seorang pengacara terkemuka Afrika Selatan kepada seorang guru sederhana Ben Du Toir (Donald Sutherland) yang menuntut keadilan di dalam film “A Dry White Season” (Euzhan Palcy, 1989). Dan inilah yang pertama-tama terngiang di dalam benak kita ketika menyaksikan film terbaru Aaron Sorkin “The Trial of the Chicago 7”.
Film sepanjang 129 menit yang baru saya ditayangkan di saluran digital Netflix ini mengisahkan sepotong sejarah AS yang dikenal sebagai ‘Chicago 7’, tujuh aktivis yang ditangkap dan dituduh sebagai orang-orang yang menyulut kekerasan, saat demonstrasi masal menentang Perang Vietnam. Demonstrasi itu terjadi saat terselenggaranya Konvensi Partai Demokrat tahun 1968 di International Amphitheatre, Chicago yang semula hanya berisi aktivis dan masyarakat yang berkumpul, berorasi dan meneriakkan yel-yel anti Perang Vietnam. Aksi massa damai itu lantas saja berubah menjadi lapangan perang yang bertumpahan darah karena polisi memukuli demonstran.
Penangkapan dan pengadilan delapan orang aktivis yang dianggap bertanggung jawab—Abbie Hoffman, Jerry Rubin, David Dellinger, Tom Hayden, Rennie Davis, John Froines dan Lee Weiner dan Bob Seale—inilah yang disorot oleh Aaron Sorkin dan juga puluhan sineas sebelumnya. Artinya: kisah ‘Chicago 7’ ini bukanlah kisah baru bagi warga Amerika. Tetapi ini versi Aaron Sorkin.
Dia bukan saja penulis skenario “Social Network” (David Fincher, 2010) , tetapi lebih lagi dia juga penggagas dan penulis skenario film “A Few Good Men” (Rob Reiner, 1992) yang menjadi film klasik yang dialognya melekat di benar pecinta film. Film terbarunya ini sekaligus disutradarainya juga berupaya memfokuskan drama di dalam ruang pengadilan, meski kita tetap disuguhi berbagai adegan kilas balik yang menjelaskan setiap peristiwa yang dipertanyakan jaksa Richard Schultz (Joseph Gordon-Levitt).
Sorkin dikenal sebagai penulis skenario yang gemar retorika, adegan-adegan teaterikal dan monolog panjang yang berbicara moral dan Amerika sebagai ‘pionir dari demokrasi modern’. Hampir semua tokoh-tokohnya jago berdebat dan berbicara dalam kecepatan tinggi. Di jagat Sorkin, sosok pendiam atau gagap tampaknya absen. Mereka yang menyaksikan “The American President”, serial “The West Wing” dan “Newsroom”, sudah pasti mengenal sidik jari Sorkin sebagai penulis skenario.
Untuk mengangkat sepotong sejarah ini, Sorkin seolah melakukan sebuah rekonstruksi tanpa perlu memberi dramatisasi berlebihan, karena memang peristiwa nyata pengadilan delapan orang –yang kemudian akhirnya berjumlah tujuh tersangka—itu sudah sangat dramatis dan teatrikal. Ini disebabkan karena sosok Abbie Hoffman (Sacha Baron Cohen) dan Jerry Rubin. Kedua aktivis ini malah dengan sukacita memperlakukan ruang pengadilan sebagai panggung drama.
Tuduhan kepada mereka jelas mengada-ada: memancing kerusuhan, keonaran dan berbagai tuduhan lain yang dicari-cari , misalnya alasan penangkapan aktivis terkemuka Tom Haydn (Eddie Redmayne) adalah karena ia mengempeskan ban mobil polisi. Keterlibatan intel –yang menyusup dan berdandan sebagai aktivis—sejak perencanaan demonstrasi juga menambah dramatisasi cerita, meski para sejarahwan Amerika langsung memberi komentar bahwa tak pernah ada bukti adanya penyamaran intel yang kemudian menjadi saksi pengadilan.
Tetapi di luar tambahan kisah fiktif intel, dan beberapa amplikasi di sana-sini, Sorkin sebetulnya cukup setia pada fakta. Bahwa Abbie Hoffman yang kebetulan bernama sama dengan Hakim Julius Hoffman berseru “Aduh, Ayah…” atau ketika Abbie Hoffman dan Jerry Rudin (Jeremy Strong) mengenakan jubah hakim di tengah pengadilan itu.
Kekonyolan itu bukan fiktif, tetapi memang demikian tingkah laku duo aktivis itu. Abbie adalah pionir gerakan Flower Power dan Rudin adalah aktivis CounterCulture. Dua atraksi itu sebetulnya hanya bagian kecil dari serangkaian tingkah mereka selama pengadilanyang berbulan-bulan lamanya.
Hakim Julius Hoffman—diperankan dengan baik oleh Frank Langella—sejak awal pengadilan sudah tercatat dalam sebagai hakim yang bias, keras, dan rasis. Di dalam film ini, tak sedikitpun dia memperlihatkan upaya untuk berimbang mendengarkan kedua pihak secara adil. Dia bahkan tak mengijinkan juri mendengarkan testimoni bekas Jaksa Agung Ramsay (Michael Keaton) yang menyatakan bahwa penyebab kekerasan di dalam demonstrasi disebabkan oleh penyerangan polisi terhadap demonstran. Meski testimoni itu jelas bisa membebaskan seluruh aktivis, tetapi Hakim Hoffman sengaja tidak memasukkannya sebagai materi pengadilan. Klimaks dari sikap bias sang Hakim adalah ketika tersangka ke delapan aktivis Black Panther Party Bobby Seale (Yahya Abdul-Mateen II) angkat bicara karena dia tak kunjung mempunyai pengacara.
Debat antara Hakim Hoffman dan Seale berakhir dengan Seale yang ditangkap, diikat dan dibekap mulutnya dipandang sebagai puncak kesewenang-wenangan sang hakim yang menjadi sorotan dunia. Jika faktanya Seale mengalami pembelakpan itu berhari-hari setiap hadir di persidangan, dalam film Sorkin hanya tega menyajikan adegan itu beberapa saat saja , karena jaksa Schultz meminta agar Hakim melepas Seale dari tuduhan.
Pada akhirnya delapan aktivis itu berjumlah tujuh, meski Bobby Seale tetap harus menghadapi serangkaian tuduhan lain pada pengadilan yang berbeda.
Klimaks berikut dari film ini adalah ketika Tom Hayden yang diminta Hakim Hoffman memberi kata penutup “yang menyejukkan” justru membacakan satu persatu korban warga AS yang gugur di Vietnam (jumlahnya ada 4000 lebih). Dan tentu saja dengan gaya Peter Weir di dalam “Dead Poet Society”, Sorkin juga mengarahkan semua aktivis, pengunjung bahkan si jaksa ikut berdiri sementara Haydn terus membacakan nama-nama yang gugur di an ketok palu kemarahan Hakim yang tidak dipedulikan siapapun.
Tentu saja Aaron Sorkin sengaja menyelesaikan film itu pada adegan paling teaterikal karena Sorkin adalah master dari adegan penuh gelora. Tentu saja fakta bahwa lima dari tujuh aktivis divonis bersalah dan dipenjara cukup dijadikan epilog pada akhir film. Dan tentu saja di sinilah kita menyadari betapa ‘keadilan’ –yang mengandung kata ‘adil’ – dan ‘hukum’ adalah saudara sepupu yang tak saling bertegur sapa.
Bahkan hingga kini. Di mana saja. Termasuk di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Leila S.Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini