Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Salah satu ciri masyarakat demokrasi modern adalah adanya kesetaraan dan perlakuan adil untuk warga negara. Belakangan banyak pemikir dan analis yang kembali masygul. Apakah mungkin mencapai kesetaraan dan keadilan, yang relatif sekalipun, dalam masyarakat kita di Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kemasygulan itu sebenarnya sudah disuarakan oleh Cipto Mangunkusumo, Tan Malaka, Agus Salim, Soekarno, Muhammad Hatta, dan para pendiri bangsa Indonesia moderen lainnya. Dokter Cipto bersama HOS Tjokroaminoto membangun kesadaran untuk memulai perjuangan kemerdekaan bukan hanya dari kolonialisme, tapi juga feodalisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tapi manusia Indonesia, menurut Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977, masih mempunyai enam sifat yang: (1) hipokritis dan munafik, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, (3) jiwa feodal, (4) percaya takhayul, (5) artistik, dan (6) watak yang lemah.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia satu-satunya yang pernah dinominasikan untuk penghargaan Nobel dalam bidang sastra, mencatat hal yang kurang lebih sama pada manusia Hindia-Belanda dalam Tetralogi Pulau Buru nya yang terbit 1980 hingga 1988. Minke, tokoh dalam tetralogi itu, beranggapan manusia Hindia-Belanda di Jawa tidak mungkin membawa perubahan karena wataknya yang lemah, tak percaya dan karena itu tak menguasai sains.
Dengan kemunafikan, jiwa feodal, dan watak yang lemah, tentu tidak mungkin lahirnya tatanan yang setara dan adil. Namun, setelah 76 tahun merdeka dan 23 tahun sejak Reformasi 1998, bagaimana kita menilai dan memaknai kesetaraan dan keadilan di Indonesia sekarang? Apakah ada kesetaraan dan keadilan untuk setiap warga negara? Kalau ada, apakah artinya ‘manusia Indonesia’ sudah berubah? Tidak lagi seperti ‘manusia Indonesia’ yang dipotret Mochtar Lubis di akhir 70-an itu?
Dalam karya-karya besar para pendiri dan pemikir bangsa juga tertulis harapan bahwa pendidikan bisa membangun karakter bangsa yang lebih kuat, menghilangkan feodalisme dan kepercayaan pada takhayul, hingga sirnanya kemunafikan. Sebagai gantinya, meritokrasi dapat jadi kebijakan, akal sehat dan berpikir kritis diasah dan jadi kebiasaan, kejujuran dan objektivitas jadi karakter bangsa. Semuanya ini ciri dunia akademik, cara berpikir dan bertindak ilmiawan. Ilmiah berpikir dan bekerja dengan metode ilmiah. Apakah pendidikan selama Indonesia merdeka telah berhasil mencapai itu?
Pendidikan karakter tanpa teladan
Yang jelas, hingga besok dan lusa sepertinya bangsa ini masih bicara kebutuhan “pembangunan karakter”. “Pendidikan karakter” wajib mewarnai kurikulum pendidikan sejak anak usia dini hingga pendidikan tinggi. Bahkan bila perlu ada mata kuliah khusus ditambah dengan sejumlah workshop dan seminar, sekarang webinar. Sejak orientasi siswa dan mahasiswa baru, para guru, dosen, dan senior menjejalkan berbagai teori, kutipan dan kisah dari para motivator dan tokoh, hingga ayat-ayat Tuhan tentang pentingnya karakter. “Adab lebih tinggi dari ilmu,” adalah mantra utama.
Di atas ilmu dan hukum memang ada etika. Tapi etika di kalangan feodal dibonsai menjadi “etiket”, “sopan santun”, “adab murid pada guru”, “hormat pada orang tua”, atau istilah lain yang tafsirnya searah. Seringkali hanya menguntungkan mereka yang berada pada posisi di atas dan lebih berkuasa dalam hubungan yang tidak seimbang (asimetris). Apa salahnya dengan “sopan santun”? Saya akan kembali ke topik di bagian akhir tulisan ini.
Sejauh ini, nyaris semua usaha “pendidikan dan pembangunan karakter” di negeri kita gagal total. Bahkan keberhasilan membangun karakter anak dalam keluarga cenderung dianulir persekolahan. Persekolahan dimana guru ditekan kepala sekolah untuk memberi nilai terbaik buat siswa demi akreditasi. Kepala sekolah yang ditekan kepala dinas pendidikan karena tujuan pimpinan daerah untuk menaikkan peringkat pendidikan daerahnya. Bukan hanya makin banyak oknum guru yang memberi les tambahan ibarat bimbel, makin banyak pula guru yang “terpaksa” memberi contekan pada anak saat ujian nasional.
Dunia kampus setali tiga uang. Bahkan lebih parah karena komersialisasi pendidikan dan monetasi perkuliahan oleh pimpinan kampus hingga oknum dosen. Pendidikan tinggi Indonesia bertambah hancur dengan penggunaan metode dan sistim industri yang deterministik. Manajemen mutu berbasis sertifikasi dan akreditasi makin menghilangkan kemanusiaan civitas akademika: dosen dan mahasiswa.
Di tingkat makro, indoktrinasi ala Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) di masa Orba untuk membangun karakter dianggap gagal. Sejak 2018 ada pula Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang pembentukan dan komposisi pengurusnya acap memantik kontroversi. Seiring dengan itu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih merajalela bahkan menjadi-jadi.
Pendidikan dan pendidik jadi tumpuan terbesar untuk membangun karakter. Itu berlaku umum di mana saja di seluruh dunia. Dan sejarah mencatat guru dan dosen di Indonesia paling tidak pernah dianggap sebagai profesi yang mulia dan penuh integritas. Sebuah lagu didedikasikan untuk para guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” sering mengharu-biru kita, terutama di tahun 80-90an. Kita juga sering mendengar “kampus adalah benteng terakhir penjaga etika, integritas, dan karakter bangsa”.
Tapi semua itu seperti jadi jargon kosong kini. Selain segelintir pejabat, sebagian kita mulai mempertanyakan peran guru, dosen, sekolah, dan kampus sebagai benteng integritas. Sebagian kita bahkan sinis hingga menganggap para pejabat yang mengucapkan jargon-jargon itu tidak lebih dari sedang mempertontonkan kemunafikannya. Lagu ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ makin jarang terdengar. Kalaupun diperdengarkan, ia tak lagi mengharu-biru. Sumbang. Karena perilaku sejumlah oknum guru, dosen, dan prestasi pendidikan Indonesia yang jeblok?
Kenapa? Karena justru korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dipertontonkan nyaris telanjang oleh makin banyak oknum pejabat publik atau aparatur negara. Tak terkecuali di sekolah dan kampus, di dunia pendidikan kita, oleh para pendidik yang berprofesi sangat mulia itu.
Kasus korupsi makin banyak melibatkan pejabat sekolah dan kampus. Plagiarisme sulit dibendung dan dilakukan oleh calon sarjana hingga rektor dan profesor. Integritas kampus makin banyak dipertanyakan saat gelar akademik dan honoris kausa diobral. “Pembelinya” adalah mereka yang paling kaya dan paling berpengaruh secara ekonomi dan politik.
Seperti kasus KKN umumnya, semuanya sulit dibuktikan. Ibarat, maaf, kentut, ia tercium tapi tak teraba. Sementara aparat penegak hukum kita, polisi, jaksa, dan hakim seringkali malas dan hanya bekerja dengan pendekatan determinisme legal yang normatif-formalistik dan sekedarnya. Kesimpulannya seringkali seperti ini: karena “tak teraba”, walaupun “tercium”, kita tidak bisa membuktikan adanya kentut!
Aparat penegak hukum kita bukan hanya dipertanyakan integritasnya. Berbagai kasus hukum dan etik justru dilakukan oleh anggota kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Kapasitas dan profesionalismenya juga dianggap bermasalah. Salah satu penyebabnya adalah paradigma pendidikan hukum di Indonesia yang tidak holistik. Fakultas hukum telah menjadi sekedar fakultas perundang-undangan.
Ada harapan saat Reformasi 1998 ikut melahirkan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) tahun 1999. Rakyat menganggap KPK pahlawan mereka. Namun sejumlah episode pelemahan terhadap KPK akhirnya membuat lembaga ini ikut tunduk pada kepentingan penguasa dan pengusaha. Puncak pelemahan terjadi dengan revisi UU KPK yang disahkan menjadi UU pada 17 September 2019. UU yang dipaksakan di tengah penolakan rakyat yang luas, yang dimotori mahasiswa dan masyarakat sipil.
Lewat UU KPK yang baru, pelemahan KPK mencapai puncaknya. Tidak lulusnya 75 pegawai KPK dalam “tes wawasan kebangsaan” (TWK) dan perlawanan Rakyat terhadap hasil tes yang dianggap materinya dianggap ada yang melanggar HAM itu dipotret sineas Dandhy Dwi Laksono dan WatchDoc sebagai “EndGame KPK”.
Feodalisme dan watak lemah di kampus
Kenapa KKN masih merajalela? Merasuk hingga ke sekolah dan kampus—dan sektor pendidikan secara umum, yang seharusnya diharapkan membangun karakter mulia? Sehingga otoritas ilmu pengetahuan di bidang pendidikan, riset, inovasi, hingga KPK pun berhasil dilemahkan?
Saya menduga ‘manusia Indonesia’ belum berubah banyak sejak Tan Malaka menuliskan kekhawatirannya tentang sifat anti-sains dalam masyarakat bangsa ini menjelang kemerdekaannya dari penjajahan kolonial Belanda. Belakangan ini, sifat anti-sains semakin populer dengan kebangkitan populisme kanan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Pengerdilan inisiatif dan partisipasi warga memang kerap terjadi pada rezim yang anti-sains.
Bukan hanya lewat populisme kanan, fasisme juga bisa lahir dari pengusung nasionalisme dengan membajak ideologi negara. Kepentingan ekonomi politik sesaat kelompoknya dengan mudah mengubah baik kaum relijius maupun kaum nasionalis, secara sengaja atau tidak, mengadopsi nilai-nilai fasisme.
Sayangnya, jika Amerika telah membuktikan demokrasi mempunyai mekanisme koreksi dengan tumbangnya Trump lewat pemilu demokratis, Indonesia—yang digadang-gadang sebagai demokrasi terbesar ketiga di dunia, sepertinya masih akan bergumul panjang dalam pencarian karakternya. Terutama karena justru benteng terakhirnya, dunia pendidikan, juga telah dibobol pragmatisme cara berpikir ekonomi-politik yang akut. Tak peduli apakah kampus itu dikuasai para kaum relijius maupun kaum nasionalis.
Sepertinya semua bermula dari feodalisme yang masih mengurat-mengakar. Sementara watak bangsa yang sempat menguat di kalangan terdidik bangsa di awal kemerdekaan, kembali melemah seiring dengan penetrasi pragmatisme ekonomi neo-liberal dan atau padangan relijius yang sempit. Cengkraman rezim pembangunan Orde Baru sejak kudeta berdarah 1965 perlahan tapi pasti menghancurkan benih karakter unggul yang mulai bersemi kala itu. Kembali mundurnya karakter bangsa dibaca dengan pahit oleh Mochtar Lubis tahun 1977. Feodalisme yang masih mengakar bertemu dengan melemahnya watak adalah lahan subur bagi KKN.
Proses progresi dan kemudian regresi karakter ini saya amati di kampus tempat saya mengabdi 27 tahun terakhir ini. Mungkin secara umum dapat juga diamati di sejumlah kampus lain yang cukup tua di Indonesia. Di kalangan guru, kemunduran bahkan terjadi lebih awal. Setelah sempat menjadi garda terdepan di masa-masa awal pembangunan, birokratisasi berlebihan telah menghancurkan citra guru ke titik nadir pada masa Orde Baru.
Dosen dan kepemimpinan kampus di Indonesia hingga tahun 90-an masih mempunyai karakter yang cukup kuat. Patut diduga mereka adalah sisa-sisa anak bangsa yang terdidik dan dipengaruhi pemikiran para pendiri bangsa dengan karakter yang kuat. Baik secara langsung maupun dari guru dan dosen perintis sebelum mereka. Karakter yang ikut dipengaruhi oleh pendidikan Barat, termasuk pendidikan kolonial, tapi banyak juga pendidikan dari ormas-ormas keagamaan yang progresif. Ormas yang terasah karena perlawanan terhadap penindasan yang panjang. Peran Muhammadyah, misalnya, cukup kuat dalam merintis pendidikan nasional Indonesia.
Di kampus saya, sebagian besar dosen-dosen perintis adalah mereka yang mendapat pencerahan dari pendidikan yang membebaskan itu. Biasanya mereka datang dari keluarga guru. Kebanyakan mereka, anak dan orang tuanya, alumni sekolah guru, termasuk Pendidikan Guru Agama (PGA). Karena kekurangan tenaga terdidik kala ini, dosen-dosen perintis ini direkrut dari berbagai wilayah di Indonesia. Selain orang Aceh, ada orang Sunda, Batak, Minangkabau, dan cukup banyak orang Jawa yang merintis Universitas Syiah Kuala. Keberagaman itu ikut membentuk karakter dan keunggulan. Berkat sejumlah proyek kerjasama dengan beberapa yayasan atau lembaga dari luar negeri, generasi awal ini umumnya mendapatkan pendidikan pascasarjana di Amerika dan Eropah.
Catatan pahit Mochtar Lubis di akhir 70-an selain menggambarkan kenyataan tentang “manusia Indonesia” juga menunjukkan adanya kesadaran untuk berbenah. Ia adalah kritik. Otokritik anak bangsa pada bangsanya sendiri. Mungkin karena itu, dekade 80-an menjadi saksi adanya antusiasme pada pendidikan, sains, dan teknologi di Indonesia. Dengan Habibie sebagai ikon, anak bangsa punya mimpi untuk berpendidikan tinggi.
Tapi semangat ini tak bertahan lama. Habibie jelas seorang teknolog yang genuine. Tapi Orba dengan developmentalismenya telah membajaknya untuk kepentingan kampanye pertumbuhan ekonomi dan stabilitas dengan ongkos yang sangat mahal yang harus dibayar Rakyat Indonesia hingga kini.
Bangsa Indonesia, suka tidak suka adalah bangsa komunal-agraris. Struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia memang telah berubah paling tidak dalam dua dekade terakhir. Sektor pertanian telah disalip sektor industri pengolahan. Bahkan bisa jadi sudah kalah dari sektor perdagangan. PBD berdasarkan sektor kini menempatkan sektor pertanian pada peringkat kedua atau bahkan ketiga. Tapi bagian terbesar penduduk Indonesia masih bekerja di sektor pertanian, termasuk perikanan. Karena itu, masyarakat Indonesia masih dianggap sebagai masyarakat agraris.
Potret manusia Indonesia yang digambarkan Tan Malaka dalam ‘Madilog’, Mochtar Lubis dalam ‘Manusia Indonesia’, dan Pram dalam Tetralogi Buru nya tentu bisa terus diperdebatkan. Karena manusia Indonesia juga terus berubah. Sebagian menganggap potret manusia Indonesia dalam ketiga karya besar itu lebih banyak memotret manusia Indonesia di Jawa. Tan Malaka dan Mochtar Lubis adalah manusia Indonesia asal Sumatra. Pram yang orang Jawa, lewat Raden Mas Minke, tokoh dalam karyanya, melihat harapan perubahan di Hindia Belanda pada manusia Aceh dan Bali yang tak kunjung bisa ditaklukkan tentara Belanda, dengan dukungan marsose yang banyak dari Manado dan Ambon. Hanya manusia Bali dan Aceh menurut Minke yang dapat diharapkan membawa perubahan karena perlawanannya yang pantang menyerah terhadap kekuasaan represif perusahaan dagang Hindia-Belanda.
Tentu bukan untuk bermaksud menyentuh isu SARA, tapi setiap kebudayaan memang melahirkan profil manusia berbeda. Ratusan etnik di Indonesia dengan aneka bahasa adalah dasar bagi lahirnya keragaman budaya dan peradaban. Setiap kebudayaan dan peradaban punya kekuatan dan kelemahan. Kekuatan dan kelemahan itu mewujud dalam ragam profil manusia Indonesia. Cita-cita negara bangsa Indonesia dalam imajinasi saya adalah mempersatukan segala kekuatan untuk mengatasi berbagai kekurangan pada masing-masing budaya dan peradaban, dan kelemahan pada masing-masing masyarakat dan individu-individunya. Namun itu hanya bisa dilakukan dengan kesetaraan dan keadilan antar wilayah dan warga bangsa Indonesia. Jika tidak, maka feodalisme dalam ragam wujudnya yang banyak terdapat dalam berbagai budaya dan agama di Indonesia akan terus kekal dan menghambat cita-cita “Indonesia Maju” atau cita-cita luhur lainnya. Bahkan, bisa jadi, feodalisme yang menjadi lahan subur KKN, akan meruntuhkan Indonesia dan ke-Indonesia-an kita.
*Dosen pada Jurusan Statistika, FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Email: [email protected]
Catatan: Kolom ini dibuat sebelum penulis dibui karena tuduhan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik