Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tak perlu tergesa-gesa memulangkan warga negara Indonesia Timur Tengah yang menjadi simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Tidak hanya karena rencana itu mendapat penolakan luas dari masyarakat, tapi juga tak ada jaminan bahwa pemerintah mampu membuang ideologi radikal yang mereka yakini selama ini. Kembalinya simpatisan ISIS dari kamp penampungan dan penjara berpotensi meningkatkan aksi teror di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka, patut disayangkan ketika Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan akan memulangkan 600 simpatisan ISIS ke Indonesia. Menurut Fachrul, dengan alasan kemanusiaan, kepulangan itu akan difasilitasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Setelah menuai kritik dan petisi penolakan, pada hari yang sama, Fachrul akhirnya meralat pernyataannya dan menyebutkan bahwa rencana itu masih dalam kajian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memulangkan mereka yang tergabung dalam kelompok teroris paling berbahaya di dunia harus dilakukan dengan hati-hati. Sejumlah negara di Eropa bahkan menolak warganya yang telah bergabung dengan ISIS demi alasan keamanan. Kita pun tak mau mereka menjadikan Indonesia sebagai medan jihad baru setelah upaya membangun khilafah di Irak dan Suriah gagal total. Potensi itu masih besar karena upaya menjinakkan para pelaku teror melalui program deradikalisasi yang digelar BNPT masih diragukan kesuksesannya.
Jamak terdengar dari para pengamat dan bekas narapidana terorisme bahwa program deradikalisasi cenderung tidak kontinu dan hanya mengarahkan pesertanya untuk berwirausaha. Sedangkan ideologi yang menjadi cikal bakal aksi teror nyaris tidak tersentuh. Sering kali para petugas di panti sosial-betul, mereka yang terlibat aksi teror disamakan dengan penyandang masalah sosial, seperti pengemis dan gelandangan-tidak tahu bagaimana menghadapi mereka yang pulang setelah berjihad.
Di penjara pun, alih-alih bertobat, para narapidana terorisme kerap menebalkan ideologinya. Hal itu, misalnya, terjadi pada Sunakim alias Afif yang dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang karena mengikuti pelatihan terorisme di Aceh. Di sana, dia malah terpapar ideologi radikal yang lebih kuat dari Aman Abdurrahman dan bergabung dengan ISIS. Afif kemudian menjadi pelaku bom Thamrin pada 2016.
Meluruhkan ideologi terorisme, apalagi yang dianut oleh pengikut ISIS, tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Maka, pemerintah sebaiknya mengevaluasi dan membenahi program deradikalisasi di BNPT. Lembaga itu juga harus menggandeng ulama moderat yang mampu meyakinkan pendukung ISIS bahwa mencapai surga tak bisa dilakukan dengan membunuh sesama. Yang pasti, tak boleh lagi anggaran negara dihabiskan untuk program yang tak tepat guna.
Pengawasan dan pembinaan terhadap simpatisan ISIS harus dilakukan terus-menerus. BNPT juga perlu mengajak pemerintah daerah agar memberikan perhatian lebih kepada narapidana terorisme dan simpatisan ISIS yang bakal kembali ke kampung halamannya. Supaya tidak kecolongan, BNPT dan kepolisian juga harus memutus hubungan mereka dengan jejaring ISIS di Indonesia dan luar negeri.
Hanya setelah program deradikalisasi dipastikan efektif, barulah pemerintah bisa memulangkan kembali para simpatisan ISIS dan merangkul mereka lagi. Bahkan pemerintah nantinya bisa menjadikan mereka ujung tombak pencegahan terorisme dan radikalisme di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo