Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Menanti Kembalinya Udara Bersih Jakarta

MA menolak  kasasi Presiden dalam kasus gugatan soal kualitas buruk udara Jakarta. Pemerintah jangan lagi berkelit. 

21 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUTUSAN Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi Presiden Joko Widodo dan tiga pembantunya dalam kasus gugatan kualitas buruk udara Jakarta menjadi penanda kembalinya hak masyarakat mendapat udara bersih. Tidak ada lagi ruang untuk menunda pelaksanaan putusan itu agar pemerintah tidak dikatakan sebagai rezim yang tidak patuh hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 13 November lalu, MA menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Presiden dan tiga menterinya dalam kasus gugatan soal kualitas buruk udara Jakarta. Kasus ini awalnya diajukan pada 4 Juli 2019 oleh 23 warga DKI Jakarta yang merasa dirugikan secara langsung oleh polusi udara di Jakarta. Tergugatnya adalah Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, serta Gubernur DKI Jakarta. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Materi gugatan warga ini masih dalam koridor tanggung jawab eksekutif, yaitu bagaimana pemerintah harus berusaha memenuhi hak asasi warganya, dalam hal ini mendapat udara bersih. Upaya itu harus ditunjukkan dengan adanya regulasi dan, yang juga sangat penting, mengimplementasikan serta mengawasi pelaksanaannya.

Dalam gugatannya, warga meminta Presiden mengetatkan baku mutu udara ambien nasional untuk melindungi kesehatan. Termasuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang di dalamnya mengatur soal pengendalian pencemaran udara lintas batas provinsi. 

Adapun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta mensupervisi gubernur dalam inventarisasi emisi lintas batas provinsi. Menteri Dalam Negeri mesti mengawasi dan mengevaluasi kinerja pemerintah daerah dalam pengendalian pencemaran udara. Sedangkan Menteri Kesehatan diminta menghitung dampak kesehatan akibat pencemaran udara.

Tuntutan terhadap Gubernur DKI memang lebih banyak. Selain diminta membuat kebijakan pengendalian pencemaran udara, Gubernur DKI harus membuat kebijakan konkret yang bisa mengurangi polusi. Antara lain menguji emisi kendaraan dan tempat usaha serta memastikan ketaatannya. 

Sebagian tuntutan warga ini diterima hakim. Dalam sidang pada 16 September 2021, hakim menilai Presiden dan para menterinya melakukan perbuatan hukum karena dinilai lalai memenuhi hak warga untuk memperoleh udara bersih tersebut. Dari lima tergugat, hanya Gubernur DKI yang menerima putusan itu. Empat lainnya mengajukan permohonan banding, yang ditolak pada 17 Oktober 2022. Upaya kasasi juga berakhir sama.

Pemerintah sebenarnya sudah merevisi PP Nomor 41 Tahun 1999 dengan PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun upaya revisi itu dinilai tak cukup sehingga hakim menolak kasasi pejabat pemerintah pusat. 

Dengan putusan kasasi ini, pejabat pemerintah pusat memang masih berpeluang mengajukan peninjauan kembali. Namun langkah itu tidak tepat dan hanya akan membuang-buang waktu. Sebaiknya pemerintah segera mematuhi dan melaksanakan putusan pengadilan karena tuntutan warga itu punya basis yang kuat dan bahaya yang ditimbulkan oleh polusi udara ini juga sangat nyata.

Dalam gugatan pada 2019, warga menyodorkan data meningkatnya jumlah penderita penyakit sebagai dampak pencemaran udara, dari 5,3 juta kasus pada 2010 menjadi 6,1 juta kasus pada 2016. Biaya yang harus dikeluarkan masyarakat dan negara juga tidak sedikit, yaitu Rp 38,5 triliun pada 2010 dan Rp 51,2 triliun pada 2016 untuk pengobatan. 

Polusi udara di Jakarta ini juga menjadi perhatian publik yang sangat besar pada Agustus lalu. Buruknya polusi saat itu, yang disumbang oleh emisi kendaraan hingga pembangkit listrik, menempatkan ibu kota negara ini menjadi kota dengan tingkat polusi udara paling tinggi berdasarkan pemantauan prusahaan teknologi kualitas udara asal Swiss, IQAir. 

Menteri Kesehatan juga merilis data bahwa jumlah penyakit akibat polusi udara sangat tinggi. Sebelum Covid-19, jumlah kasusnya sekitar 50 ribu orang. Setelah itu jumlahnya naik drastis menjadi 200 ribu orang. Dana pengobatannya juga besar. Pada 2022, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengeluarkan dana sekitar Rp 10 triliun untuk menangani penyakit akibat polusi udara. Jumlah kasusnya cenderung naik. Otomatis biaya yang harus dikeluarkan membengkak.

Jadi, sikap pemerintah yang menunda melaksanakan putusan, termasuk mengajukan upaya hukum lainnya, hanya akan dilihat sebagai sikap arogan dan tak acuh pada aspirasi warganya. Langkah tersebut juga berarti pemerintah enggan melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa mencegah jatuhnya lebih banyak korban akibat polusi udara Jakarta.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus