Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menggelar konsultasi publik aturan pelaksana pembangunan ibu kota negara.
Konsultasi publik dirancang searah karena berbentuk seminar yang minim partisipasi publik.
Pura-pura terbuka setelah pembahasan UU IKN berlangsung kilat dan tertutup.
SETELAH mendapat kritik soal ketertutupan dan minimnya partisipasi publik dalam membahas Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN), pemerintah menggelar konsultasi publik membahas aturan pelaksananya. Kalau film Ada Apa dengan Cinta tayang lagi, Cinta akan dengan sengit nyolot di muka para pembuat acara konsultasi: “Basi! Madingnya sudah terbit!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UU IKN dikerjakan pemerintah dan DPR hanya dalam tempo 43 hari. Ini waktu tercepat membahas sebuah aturan penting dalam sejarah DPR. Baru kali ini pula DPR bekerja gesit dalam proses legislasi. Biasanya mereka lelet. RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tak kunjung diketok dengan pelbagai alasan. RUU Perlindungan Masyarakat Adat bolak-balik masuk program legislasi nasional, bahkan dua kali ganti nama, tapi hingga kini tak kunjung dibahas.
Maka, jika aturan induk tentang IKN dibahas cepat tanpa partisipasi publik lalu aturan turunannya dibuka kepada masyarakat, kita tahu ini basa-basi saja. Aturan pelaksana IKN tentu tak akan jauh dari undang-undangnya yang belepotan secara konstitusi. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah jelas mengatur klausul pendapat masyarakat dalam pembahasan undang-undang.
Apalagi yang dibahas dalam konsultasi itu adalah aturan teknis, seperti kewenangan Badan Otorita. UU Pemerintahan Daerah tak mengenal jenis lembaga otorita yang kerja ketuanya seperti kepala daerah. Artinya, bentuk otorita sebagai pengelola IKN menambah panjang daftar kesalahan pemindahan ibu kota negara secara konstitusional.
Di luar konsultasi publik, pemindahan ibu kota tak punya alasan kuat. Argumen bahwa ibu kota negara di Kalimantan Timur itu hanya sebagai pusat pemerintahan, dengan Jakarta tetap sebagai pusat ekonomi, sudah dibantah oleh Pasal 2 UU IKN bahwa Ibu Kota Nusantara akan menjadi penggerak ekonomi. Pemerintahan Joko Widodo benar-benar hanya ingin meninggalkan Jakarta, ogah membereskan segala masalah di dalamnya.
Pemindahan ibu kota kian terasa nyesek karena anggaran negara sedang cekak akibat tersedot untuk menangani pandemi Covid-19. Alih-alih memulihkan ekonomi yang terpuruk, membangkitkan kembali keadaan seperti sebelum masa pandemi, Jokowi hendak menghamburkan anggaran tersisa untuk membangun ambisinya meninggalkan warisan besar membangun ibu kota baru. Para pendukungnya memuji dia sebagai pemimpin yang berani mengeksekusi keinginan semua presiden memindahkan Jakarta.
Problemnya bukan soal keberanian. Soeharto saja berani menetapkan swasembada pangan dengan mengubah lahan gambut menjadi tanah pertanian pada awal 1990-an. Hasilnya adalah bencana lingkungan yang kita warisi hari ini. Gambut Kalimantan, yang menjadi ekosistem terbaik menyerap emisi, kini malah menjadi produsen emisi besar karena rentan terbakar setiap musim kemarau. Berani tanpa perhitungan adalah konyol dan nekat.
Ketimbang pura-pura membuka diri untuk aturan minor, pemerintah mesti insaf bahwa memindahkan ibu kota sekarang bukan waktu yang tepat. Mumpung dampak buruknya belum banyak terlihat, Presiden Jokowi masih punya kesempatan membatalkan rencana ini secara konstitusional: biarkan masyarakat sipil menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi, lalu aturan ini batal karena memang inkonstitusional.
Setelah itu, isi dua tahun sisa pemerintahannya dengan hal-hal berguna bagi masyarakat. Misalnya, fokus memulihkan ekonomi di tengah masa pandemi. Bereskan tata kelola komoditas penting masyarakat agar terjangkau di tengah kelesuan ekonomi. Hidupkan ekonomi hijau dan sirkular sehingga sejalan dengan mitigasi krisis iklim.
Memaksakan terus pembangunan ibu kota baru dengan basa-basi membuka partisipasi publik hanya akan menambah panjang daftar cela Jokowi dalam sejarah Indonesia. Ia akan dicatat sebagai presiden yang kisruh bekerja karena sibuk memoles citra. IKN adalah gincu pembangunanisme ala Jokowi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo