Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Demokrasi yang Bertahan

Indonesia sedang mengalami episode autokratisasi atau kemunduran demokrasi. Gerakan resistansi harus dimulai sekarang juga.

12 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Melemahnya penghargaan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara menunjukkan Indonesia masih berada di fase electoral democracy.

  • Jika gagal membendung episode autokratisasi, Indonesia dapat tergelincir dari fase electoral democracy ke fase electoral autocracy.

  • Perlawanan terhadap episode autokratisasi harus melibatkan seluruh aktor politik, aktorn institusional, dan aktor sosial yang bergerak secara kompak.

Rizky Alif Alvian
Pengajar di Universitas Gadjah Mada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data Varieties of Democracy (V-Dem) menunjukkan bahwa Liberal Democracy Index Indonesia telah mengalami penurunan dari 0,52 pada 2014 menjadi 0,42 pada 2022. Situasi ini, mengacu pada studi mengenai autokrasi, menandakan Indonesia tengah mengalami episode autokratisasi (Pelke dan Croissant, 2021). Sayangnya, belum ada tanda bahwa fase kemunduran demokrasi ini akan segera berakhir. Bukan tidak mungkin performa demokrasi Indonesia akan terus memburuk dalam tahun-tahun mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data Regime of the World (RoW) saat ini mengkategorikan Indonesia dalam negara electoral democracy. Dalam rezim ini, partisipasi dan kontestasi politik relatif terbuka. Tapi pembatasan terhadap kekuasaan eksekutif cenderung tergerus. Salah satu gejala yang paling mencolok adalah melemahnya penghargaan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara. 

Apabila gagal membendung episode autokratisasi yang tengah dialaminya, Indonesia dapat tergelincir dalam kategori yang lebih buruk, yakni electoral autocracy. Walaupun dalam rezim ini partisipasi politik masih relatif terbuka, kontestasi politik cenderung dibatasi. Sementara itu, kekuasaan eksekutif berjalan semakin sewenang-wenang. Masuknya Indonesia dalam kategori ini juga berarti bahwa Indonesia hanya perlu selangkah lagi untuk menjadi negara closed autocracy. Ini merupakan kategori paling ekstrem dalam spektrum rezim autokratik (Cassani dan Tomini, 2019). 

Masyarakat Indonesia perlu mencegah kemunduran demokrasi lebih lanjut. Ada setidaknya dua alasan strategis mengapa resistansi perlu dilakukan sekarang juga. Pertama, pergeseran dari electoral democracy menjadi electoral autocracy sering disebut sebagai momen kerusakan demokrasi (democracy breakdown). Setelah tahap ini terlampaui, elite autokratik dapat secara leluasa menggerus institusi demokrasi dari dalam. Institusi demokratis yang selama ini susah payah dibangun akan dipereteli. Tak mudah menyusunnya kembali (Boese et. al. 2021). 

Kedua, semakin parah derajat autokratisasi yang dihadapi oleh suatu negara, semakin sempit pula ruang resistansi tersedia. Karena kekuasaan eksekutif tak lagi terkendali, elite autokratik memiliki ruang yang lebih besar untuk merepresi. Ini membuat resistansi semakin berisiko. Akibatnya, aktor demokratis terpaksa bergerak di bawah tanah. Publik juga cenderung sukar dimobilisasi untuk mendukung gerakan demokrasi karena khawatir akan risiko resistansi (Tomini, Gibril, Bochev, 2023). Maka, menunda resistansi terhadap episode autokratisasi akan membuat prospek demokratisasi justru menjadi semakin buruk.

Strategi Mencegah Autokratisasi

Apa strategi yang perlu diambil untuk membendung kemunduran demokrasi di Indonesia?

Meski masyarakat sipil memegang peran sentral dalam mempertahankan demokrasi, masyarakat sipil tidak bisa bekerja sendiri. Literatur mengenai resiliensi demokrasi mensyaratkan setidak-tidaknya tiga jenis aktor yang bekerja berbarengan untuk menghadang episode autokratisasi (Tomini, Gibril, Bochev, 2023). 

Aktor pertama adalah aktor politik yang meliputi, utamanya, partai politik. Aktor kedua adalah aktor institusional. Ini mencakup beragam elemen dari aparatus negara. Aktor ketiga adalah aktor sosial yang meliputi berbagai komponen dari masyarakat sipil, termasuk lembaga keagamaan, serikat buruh, dan serikat mahasiswa. Dengan cara masing-masing, aktor politik, institusional, dan sosial bertugas memberikan sebesar-besarnya tekanan kepada elite autokratik agar agenda mereka tak berjalan.

Meski demikian, perlawanan terhadap autokratisasi membutuhkan kerja sama dan koordinasi di antara ketiga aktor tersebut (van Lit, 2023). Hal ini berkaitan dengan watak dari autokratisasi itu sendiri. Dalam mendorong episode autokratisasi, elite autokratik biasanya secara komprehensif bermain di ranah politik elektoral, institusi negara, dan sosial kemasyarakatan. 

Dalam arena politik dan institusional, autokrat berupaya membajak negara dengan meletakkan sebanyak-banyaknya anggota koalisi mereka dalam lembaga-lembaga negara. Dalam arena sosial kemasyarakatan, autokrat menciptakan narasi ideologis yang memberi pembenaran moral terhadap manuver mereka. Autokratisasi yang berhasil mensyaratkan kelihaian untuk menyeimbangkan strategi di arena politik-institusional dan arena sosial kemasyarakatan. Apabila autokrat tidak dapat memberikan pembenaran moral, potensi perlawanan oleh warga akan membesar. Sebaliknya, apabila autokrat tidak berhasil membajak negara, mereka tidak akan bisa melakukan konsolidasi kekuasaan (Bajpai dan Kureshi, 2022). 

Karena itu, usaha mempertahankan demokrasi perlu dilakukan di dalam arena politik, institusi, dan sosial sekaligus. Tak pelak, hal ini mensyaratkan pembentukan aliansi antara aktor politik, institusional, dan sosial yang berkomitmen terhadap demokrasi. Elemen demokratis dari partai politik, aparatus negara, serta masyarakat sipil perlu berdialog dan merumuskan peta jalan bersama untuk menghadang gerakan para autokrat. 

Tapi di sinilah letak tantangannya. Aliansi ini tidak mudah dibentuk karena rasa percaya di antara aktor politik, institusional, dan sosial mungkin sudah sangat buruk. Aktor sosial, utamanya, tidak yakin bahwa aktor politik dan institusional berkomitmen kepada demokrasi. Dalam konteks Indonesia, ketidakpercayaan ini masuk akal, mengingat aktor politik dan institusional justru berperan banyak dalam mendorong episode autokratisasi dalam tahun-tahun terakhir. 

Resistansi terhadap autokratisasi membutuhkan koalisi pro-demokrasi yang tak terpecah belah. Karena itu, diperlukan eksperimen untuk membangun kembali kepercayaan di antara aktor resistansi. Aktor politik, sebagai aktor utama, memiliki tugas berat untuk membangun kembali kredibilitasnya di hadapan aktor sosial. 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus