Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan manufaktur cenderung menurun sejak 2012. Pada 2011, industri ini masih tumbuh 6,74 persen atau di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 6,49 persen. Namun, pada 2012, industri manufaktur turun menjadi 6,42 persen saat ekonomi bertumbuh 6,26 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2016, industri manufaktur hanya tumbuh 4,43 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang berada di level 5,03 persen. Kondisi yang sama terjadi lagi pada 2017 dan 2018, dengan pertumbuhan masing-masing 4,85 dan 4,77 persen, ketika perekonomian nasional tumbuh 5,07 dan 5,17 persen. Pada kuartal pertama 2019, pertumbuhan industri manufaktur mencapai 4,8 persen, sementara ekonomi tumbuh 5,07 persen.
Dengan angkatan kerja 136,18 juta dan pengangguran terbuka 6,82 juta (per Februari 2019), industri manufaktur mau tak mau harus diberi jalan seluas-luasnya, mengingat lahan pertanian yang menciut dan angkatan kerja terus meningkat. Tentu akan sangat kontraproduktif jika bangsa dengan jumlah penduduk besar ini hanya menjadi pengguna produk industri impor. Masalahnya, meskipun paket ekonomi sudah diluncurkan 16 kali, pelaku bisnis tetap merasakan minimnya dukungan pemerintah. Maka, pemerintah kini harus merealisasi sejumlah hal untuk segera menumbuhkan lagi sektor industri manufaktur.
Tidak semua industri pengolahan, misalnya, mendapat bahan baku. Bahan baku dari dalam negeri dibiarkan diekspor karena lebih menguntungkan daripada dijual ke pabrik manufaktur di dalam negeri. Contohnya, banyak pabrik cokelat yang kekurangan bahan baku karena kakao, bahan baku cokelat, diekspor. Ada kebijakan fiskal yang tidak menguntungkan pemilik kakao untuk memasarkan produknya ke pabrik cokelat domestik. Bahan baku impor kurang dikenakan bea masuk lebih tinggi dibanding produk jadi, sehingga produk impor lebih murah daripada produk lokal.
Contoh lain, ketika sebagian baja Cina tak lagi masuk ke Amerika Serikat, Indonesia mendadak menjadi pasar. Dengan produksi baja sekitar 800 juta ton setahun, ekspor Cina bisa dengan mudah menghancurkan pasar baja negara mana pun, termasuk Indonesia, yang hanya memproduksi 7 juta baja setahun. Perkara semacam ini sejatinya menjadi salah satu penyebab utama Krakatau Steel susah bertahan.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri juga menghadapi masalah yang tak kalah seriusnya. Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan impor selalu di atas ekspor. Bahkan industri TPT Indonesia sudah tertinggal jauh dari negara-negara lain. Vietnam, yang dulu berada jauh di bawah Indonesia, kini telah menyalip akibat industri TPT dalam negeri kehilangan daya saing. Industri TPT adalah sektor padat karya dan berorientasi ekspor. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri TPT menyerap 3,6 juta tenaga kerja.
Tapi ekspor TPT Indonesia berada di posisi keempat dunia, setelah Vietnam, India, dan Cina. Pasar ekspor TPT Indonesia yang terbesar adalah Amerika Serikat sebesar 36 persen, Timur Tengah (23 persen), dan Uni Eropa (13 persen). Selama 2015-2017, rata-rata pertumbuhan ekspor TPT Indonesia mencapai 4 persen. Tahun lalu, ekspor TPT hanya naik 5,4 persen, sementara impornya melonjak 13,9 persen. Akibatnya, neraca perdagangan TPT Indonesia tergerus. Sebaliknya, dalam 10 tahun terakhir, Vietnam menikmati peningkatan surplus neraca perdagangan TPT, dari US$ 2 miliar menjadi US$ 26 miliar.
Menghadapi kondisi seperti ini, tak bisa tidak, Presiden Joko Widodo harus didukung penuh oleh the winning team di bidang ekonomi. Mereka seharusnya bukan saja figur yang memiliki kompetensi di bidangnya, tapi juga mempunyai kemampuan berkoordinasi, bekerja dalam tim, dan mengutamakan kepentingan nasional. Mereka haruslah figur yang bersih, tidak mudah diajak hengki-pengki untuk membuat kebijakan yang tidak berpihak pada kemajuan industri manufaktur. Jadi, pertimbangan penentuan kabinet harus dilepaskan dari aksi berbagai pihak yang bermanuver untuk menyodorkan dirinya, partainya, atau golongannya untuk menjadi menteri. Harapan publik, pada periode terakhirnya, Jokowi lebih cermat dan independen dalam memilih menterinya.
Kondisi sekarang mengharuskan Jokowi bergerak lebih cepat, tepat, dan sigap. Laju pertumbuhan ekonomi yang hanya 5 persen setahun dalam jangka waktu yang lama diyakini tidak membantu bangsa ini naik peringkat ke level yang lebih sejahtera. Sejarah berbagai negara maju menunjukkan, ketika mengalami bonus demografi, laju pertumbuhan ekonominya seharusnya ada di rentang 7 persen, bahkan 10 persen. Dalam jangka waktu kurang dari dua dekade, produk domestik bruto (PDB) per kapita negara-negara tersebut terdongkrak hingga menembus level US$ 12 ribu. Sedangkan Indonesia, saat sedang menikmati bonus demografi, laju per tumbuhan ekonominya tak pernah menembus 5,5 persen dalam lima tahun terakhir.
Dengan PDB per kapita yang baru US$ 4.000 kurang sedikit, Indonesia dipastikan terancam momok middle income trap. PDB tak bisa naik lebih tinggi lagi, bahkan ada kemungkinan terjungkal. Tapi tak ada kata terlambat. Kondisi buruk ini masih bisa dihindari dengan memacu pembangunan industri manufaktur. Kuncinya ada pada kebijakan pemerintah yang pro-industri dan konsisten menjalankannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo