Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa kerusuhan di Jakarta dengan dalih menolak hasil penghitungan suara pemilihan presiden pada 22 Mei lalu harus diusut tuntas. Pelaku lapangan dan dalang kerusuhan mesti diseret ke pengadilan. Indikasi pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat kepolisian saat mengamankan kerusuhan juga tak semestinya dibiarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi huru-hara di sejumlah lokasi di Jakarta itu, menurut data rumah sakit di Ibu Kota yang menampung korban seperti yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, telah menyebabkan delapan orang tewas dan 737 orang lainnya terluka. Indikasi kekerasan oleh aparat lainnya berupa penyerangan terhadap tenaga medis serta penganiayaan terhadap anak di bawah umur dan jurnalis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjadi pihak yang ikut tertuduh, polisi tak selayaknya mengusut kerusuhan ini. Presiden semestinya membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang diisi tokoh independen. Para pegiat hak asasi manusia, tokoh masyarakat, ahli hukum, serta akademikus dengan rekam jejak bagus, kredibel, dan bebas kepentingan layak dipilih. Presiden harus memastikan tim bekerja secara profesional dan lurus untuk mengungkap siapa saja yang terlibat.
Tim pencari fakta perlu dibentuk juga karena alasan pelaku lapangan ditengarai adalah purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memiliki kedekatan dengan salah satu kontestan. Bahkan unjuk kekerasan yang bermula dari kantor Badan Pengawasan Pemilihan Umum di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, itu amat kentara dirancang serius untuk menolak hasil penghitungan suara pemilihan presiden. Salah satunya dugaan pengiriman pelaku kerusuhan dari luar Jakarta.
Salah satu purnawirawan TNI yang disebut-sebut terlibat adalah Kolonel (Purnawirawan) Fauka Noor Farid, yang ditengarai berperan merekrut komandan lapangan aksi kerusuhan. Ketika berpangkat kapten, ia tergabung dalam Tim Mawar. Di Pengadilan Mahkamah Militer pada 9 April 1999, tim ini terbukti menculik sejumlah aktivis pada 1997-1998. Fauka divonis 1 tahun 4 bulan penjara, tapi tidak dipecat sebagai anggota TNI. Belakangan, ia tercatat sebagai pengurus Partai Gerindra.
Presiden semestinya tidak ragu membentuk tim gabungan pencari fakta. Dasar hukum yang bisa dipakai adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan pembentukan TGPF, bukan hanya urusan pro justitia yang bisa diusut, tapi motif politik juga bisa ditelisik.
TGPF harus membuat terang-benderang apa yang semula berkabut. Dalang, penyandang dana, dan pelaku lapangan kerusuhan 22 Mei harus diusut dan dihukum. Tim pencari fakta akan menyerahkan rekomendasi ke Presiden. Setelah itu, Presiden meneruskan ke penegak hukum. Kasus pidananya akan ditindaklanjuti oleh kepolisian dan polisi militer. Sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bisa ditangani Komnas HAM.
Kerusuhan 22 Mei merupakan pelanggaran prinsip demokrasi. Semestinya pihak yang kalah menerima kenyataan. Mereka dapat mempersiapkan diri untuk berkompetisi dalam pertarungan berikutnya. Jalan kekerasan hanya dilakukan oleh para penunggang demokrasi-benalu yang selayaknya ditindak tegas dan dihukum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo