Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semestinya sibuk pada masa kampanye ini. Banyak dari mereka yang dicalonkan kembali oleh partainya. Mereka harus mengunjungi daerah pemilihannya dan memasang baliho. Atau bertemu dengan kelompok masyarakat untuk membagikan bahan pokok. Namun ada yang masih tetap berada di Senayan untuk mengurusi rancangan undang-undang (RUU) dengan semangat tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumben rajin. Ternyata RUU yang diurusnya itu sangat berkaitan dengan politik jangka pendek. Bukan membahas RUU yang sudah lama terbengkalai atau yang dinanti-nanti masyarakat, seperti RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana atau RUU Pelindungan Data Pribadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa contohnya? DPR pernah merencanakan revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Yang direvisi adalah batas minimum usia hakim MK menjadi 60 tahun dengan masa jabatan 10 tahun sehingga pensiun pada usia 70 tahun. Nuansa politiknya terang benderang. Sasaran tembaknya adalah hakim Saldi Isra, kini Wakil Ketua MK, yang dikenal kritis. Usia Saldi di bawah 60 tahun. MK adalah lembaga pemutus jika ada sengketa hasil pemilu sehingga ada yang berharap hakim-hakim kritis di MK harus disingkirkan. Apalagi Anwar Usman, Ketua MK yang diberhentikan karena meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, sudah dikenai sanksi tak boleh mengadili sengketa pemilu.
Siapa dalang rencana revisi ini? Belum jelas. Syukur, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. langsung bereaksi. “Kami juga kaget,” kata Mahfud. Dia mengatakan revisi UU MK bisa merugikan hakim konstitusi yang aktif sekarang. Pemerintah sudah menyurati DPR untuk meminta penundaan pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi itu.
Revisi UU MK menghilang. Kini muncul RUU Daerah Khusus Jakarta. RUU ini akan ditargetkan selesai sebelum Pemilu 2024 dan sudah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR sebagai RUU inisiatif DPR. Delapan fraksi DPR setuju dan hanya satu fraksi, yakni PKS, yang menolak. RUU ini memang sebagai akibat dari pindahnya ibu kota negara ke Kalimantan Timur sehingga Jakarta perlu dibuatkan undang-undang khusus.
Sebagai daerah khusus, Jakarta memang tetap dipimpin gubernur dan wakil gubernur. Cuma, pemimpin itu akan diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul dari dewan perwakilan rakyat daerah. Itu tertuang dalam Pasal 10 ayat 2 RUU ini.
Heboh justru muncul setelah paripurna DPR menyetujui RUU inisiatif tersebut. Ternyata sebagian besar partai politik berkeberatan atas pasal yang menyebutkan gubernur dan wakil gubernur ditunjuk presiden. Dalam kesepakatan awal, tak ada pasal itu. Dari mana datangnya dan siapa yang mengusulkan?
Ada dugaan pasal itu nyelonong setelah Badan Legislasi DPR melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat. Kunjungan ini dipimpin anggota DPR dari Fraksi Gerindra. Adakah Gerindra menjadi arsitek dari pasal yang mengatur agar Gubernur Jakarta ditunjuk presiden? Belum ada jawaban pasti. Tapi Fraksi Gerindra dan Partai Persatuan Pembangunan memang termasuk yang setuju Gubernur Jakarta ditunjuk presiden. Tujuh partai lainnya menolak.
Pertanyaan yang muncul, untuk maksud apa Jakarta harus dibedakan dengan provinsi lain dalam memilih pemimpinnya? Belum jelas. Tapi gosip tiba-tiba merebak. Semua ini atas kemauan Istana yang akan melempangkan jalan Gibran jika pasangan Prabowo-Gibran kalah dalam pemilihan presiden 2024.
Gibran membantah gosip liar itu. Bahkan Istana, melalui Koordinator Staf Khusus Presiden Ary Dwipayana, justru menyebutkan belum tahu draf RUU Jakarta itu. Masalahnya, apakah kita percaya Istana? Jika mengikuti alur putusan MK soal batasan usia presiden dan wakil presiden yang menyebabkan Gibran bisa langsung menjadi cawapres, lalu melihat upaya yang mencoba merevisi UU MK agar bisa menyingkirkan hakim yang kritis, kita boleh ragu. Kita bisa saja menduga bahwa ini strategi Jokowi melanggengkan dinastinya menggunakan lembaga lain. Kali ini DPR dengan utak-atik RUU.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo