Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus memastikan pelayanan terhadap masyarakat tak berkurang akibat penghentian kerja sama dengan sejumlah rumah sakit. Keselamatan pasien harus menjadi pertimbangan utama dalam penghentian kerja sama tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BPJS Kesehatan memutus kontrak kerja sama dengan sejumlah rumah sakit dan klinik di berbagai wilayah per 1 Januari lalu. Kementerian Kesehatan dan BPJS beralasan, unit kesehatan itu tak punya atau belum memperbarui sertifikat akreditasi yang menjadi syarat administrasi. Akhir Desember lalu, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mengirim surat kepada Direktur Utama BPJS yang isinya merekomendasikan agar 551 dari 616 rumah sakit yang belum terakreditasi tetap diperpanjang kontraknya. Maka, sedikitnya 65 rumah sakit dihentikan kerja samanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patut disayangkan, Kementerian Kesehatan dan BPJS terkesan menutup-nutupi kebijakan itu dengan tidak mengumumkan penghentian kerja sama. Seharusnya kebijakan yang berpengaruh luas terhadap kepentingan publik tersebut disosialisasi secara masif, bukan malah disembunyikan. Dengan demikian, masyarakat, terutama yang memiliki masalah kesehatan serius, bisa mengantisipasi keputusan itu sejak jauh hari.
Di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, misalnya, pasien peserta BPJS Kesehatan kini harus menempuh perjalanan laut hingga 152 kilometer untuk mendapatkan layanan kesehatan. Penyebabnya, BPJS memutus kerja sama dengan satu-satunya rumah sakit di pulau tersebut. Tak hanya merepotkan, kondisi ini juga membuat pasien kritis bertaruh nyawa lantaran penanganan yang tidak tepat waktu.
Alasan pemerintah bahwa sertifikasi diperlukan untuk melindungi masyarakat tentu bisa diterima. Standardisasi memang diperlukan untuk menjaga kualitas pelayanan kesehatan. Tapi alternatif layanan seharusnya disiapkan, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil dan yang sepenuhnya bergantung pada layanan BPJS Kesehatan.
Lagi pula, semestinya pemerintah dan BPJS memprioritaskan masyarakat dalam membuat kebijakan. Tidak hanya menyangkut akreditasi rumah sakit, tapi juga yang lain. Masalah lain yang sering mengganggu layanan kesehatan adalah keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan. Di Bogor saja, tagihan klaim empat rumah sakit daerah dan 22 rumah sakit swasta yang belum dibayar oleh BPJS mencapai Rp 207 miliar. Tunggakan tersebut mempengaruhi kegiatan operasional dan membuat rumah sakit enggan memberikan layanan prima kepada pasien peserta BPJS Kesehatan.
Karena itu, selain mengejar standardisasi rumah sakit, pemerintah dan BPJS perlu membenahi sistem pembayaran klaim, jangan dibiarkan terus berlarut-larut. Tata kelola asuransi kesehatan ini juga perlu diperbaiki agar tidak terus-menerus defisit-tahun lalu defisit diperkirakan mencapai Rp 10,98 triliun. Pendanaan yang sehat, serta rumah sakit yang memenuhi standar, memungkinkan pemerintah dan BPJS melayani kesehatan publik secara lebih optimal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo