Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

UU Bahasa: Xenofobia atau Xenofilia?

26 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

(Tanggapan atas tulisan Eko Endarmoko ”Xenofobia”)

  • Maryanto*

    Haruskah bahasa asing dibenci? Benarkah UndangUndang Bahasa digagas atas dasar rasa takut yang akut pada bahasa asing? Adalah Eko Endarmoko yang berspekulasi sangat jauh di ruang Bahasa! majalah ini (Tempo, 14 Januari 2007). Menurut dia, undang-undang itu digagas oleh ”para pembela bahasa Indonesia yang telah kehabisan akal”.

    Kalau dibenci, mengapa sekitar 340 ribu unsur bahasa asing sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia? Sudah lama tata bahasa Indonesia dikembangkan, tentu dengan memanfaatkan tata bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang telah memiliki TOEFL, TOEIC, dan IELTS itu juga dimanfaatkan untuk pengembangan alat ukur Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Kekayaan bahasa Indonesia itu (dan masih banyak lainnya) berkembang tanpa kebencian terhadap bahasa asing.

    Buruk muka lantas cermin dibelah? Tidaklah begitu. Malahan, buruk muka lalu cermin lain dicari. Cermin orang lain dianggap mampu mengubah muka. Mulailah akal kurang sehat ketika cermin orang lain itu membuat kagum akan muka yang sebenarnya menipu diri.

    Contoh BSD City dapat diambil sebagai sebuah bentuk penipuan diri. Siapa yang tidak tahu padanan kata city dalam bahasa Indonesia? Asalkan mereka sedikit melek bahasa Indonesia (katakanlah cuma kualifikasi ”Terbatas” dalam ukuran UKBI), kata itu tentu sudah diketahui. Persoalan mereka bukan tahu atau tidak tahu. Mereka tidak mau tahu. Itu persoalan sikap yang agaknya luput dari sorotan Eko Endarmoko.

    Sikap tidak mau tahu bahasa Indonesia tampak berpangkal pada rasa kagum (gandrung) akan bahasa asing. Ujungujungnya lidah boleh jadi latah. Betapa banyak orang Indonesia yang latah kalau dipaksa menuturkan tulisan nama asing seperti Golden Road, Ocean Park, dan BSD Junction.

    Kekaguman yang dipertontonkan di BSD City tersebut menyiratkan tanda tanya besar. Mengapa dulu kita merasa enak dengan bahasa Indonesia? Namun, dengan pengembang terakhir di kawasan BSD City, tidak terasa nyaman kalau mereka tidak berbahasa asing?

    Pertanyaan itu perlu dilontarkan kepada tiga pihak yang saling terikat. Pertama, pihak warga penghuni; kedua, pengembang; ketiga, lembaga pengatur pengembangan kawasan. Khusus bagi warga penghuni, pilihan bahasa (Inggris atau Indonesia) itu mungkin soal selera: sukasuka pilih bahasa apa saja. Seperti kata Eko Endarmoko, bahasa memang ”berwatak manasuka”.

    Awaslah. Meski berwatak manasuka, sebuah bahasa tidak selalu dipakai menurut selera pemakainya. Dalam banyak hal pemakai tidak mungkin berbahasa sesuka hati. Jelasnya, ada semacam kaidah yang takpernah tertulis: janganlah berbahasa sembarangan. Itu konvensi dalam bahasa apa pun.

    Perwatakan bahasa (termasuk pemakainya) tersebut mungkin lebih tepat disebut ”kebebasan dalam keterikatan”. Masalahnya akan muncul ketika keterikatan bahasa itu mengacu pada sebuah aturan kebahasaan yang berupa undangundang. Perlukah kebebasan setiap warga masyarakat diatur dengan sebuah undangundang? Kesangsian itu pun sangat wajar.

    Contoh BSD City telah memperlihatkan watak bahasa yang bebas (bagi pengembang) hanya terikat dengan pihak warga masyarakat (konsumen). Pihak lembaga pengatur usaha pengembangan kawasan itu (entah namanya Pemerintah Daerah, Departemen Perumahan Rakyat, atau Kementerian Permukiman) tidak mengikat kebebasan pengusaha.

    Dari contoh tersebut, agaknya, antara para pengusaha dan lembaga pengatur usaha itu tidak (belum) ada ikatan kelembagaan yang kuat (payung hukum) dalam hal bahasa. Untuk menangguk untung usahanya, dengan sesuka hati, para pengembang dapat mengumbar selera bahasa masyarakat konsumennya. Memang, pada era global ini, sebagian besar masyarakat sedang menggandrungi bahasa asing.

    Di tengah kealpaan peraturan kebahasaan tersebut, lembaga pengatur usaha itu justru turut larut dalam kekaguman terhadap bahasa asing. Kekaguman yang menjalar ke lembaga seperti itu sudah tidak wajar dan perlu diwaspadai. Sudah saatnya, saya kira, kekaguman itu diberi semacam terapi kejut (shock therapy). Untuk itu, biarlah Undang-Undang Bahasa tersusun.

    Undang-Undang Bahasa perlu disusun untuk menjaga agar semangat Sumpah Pemuda 1928 dan amanat UndangUndang Dasar 1945 mengenai bahasa Indonesia tidak kendur. Semangat dan amanat tersebut masih perlu dijabarkan. Apa saja tugas dan fungsi lembaga negara, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat untuk melestarikan bahasa Indonesia (sebagai bahasa negara dan bahasa nasional)? Masalah kelembagaan bahasa itulah yang sangat mendesak untuk diatur secara jelas dan tegas dengan produk legislasi.

    Undang-Undang Bahasa (apa pun bentuk gagasannya sementara ini), menurut hemat saya, perlu disambut baik sebagai wujud kewaspadaan nasional di tengah arus kekaguman global. UU Bahasa tidak digagas atas dasar perasaan benci atau takut akan bahasa asing (bahasa global). Kekaguman terhadap bahasa asing yang mulai takterkendali itulah yang perlu diwaspadai.

    *) Karyawan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus