Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERADILAN tak selalu berjalan seiring dengan rasa keadilan. Bukti paling mutakhir adalah kasus Misbakhun, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga memalsu dokumen pencairan letter of credit Bank Century senilai US$ 22,5 juta. Jaksa menuntut hukuman 8 tahun plus denda Rp 10 miliar untuk Misbakhun. Tapi, anehnya, majelis hakim hanya menghukum satu tahun penjara, tanpa denda.
Bau amis putusan ini susah dihindarkan. Sebab, jurang antara tuntutan jaksa dan keputusan hakim begitu lebar. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diduga telah dibikin "masuk angin" sehingga tak bisa obyektif. Bukan mustahil pula tim jaksa penuntut sengaja tidak maksimal mengemas tuntutan. Yang jelas, kita mendapati vonis ganjil dan tak bermutu.
Misbakhun, politikus Partai Keadilan Sejahtera, adalah juga Komisaris PT Selalang Prima Internasional. Pada Oktober 2007, perusahaan ini mengajukan kredit US$ 22,5 juta kepada Bank Century (kini Bank Mutiara) untuk impor kondensat Bintulu, salah satu produk turunan minyak bumi.
Banyak keanehan dalam permohonan kredit Selalang. Umpamanya, tak ada data penyedia kondensat yang akan diimpor. Jaminan deposito pun hanya US$ 4,5 juta, jauh dari syarat jaminan yang harus setara dengan 100 persen kredit. Belakangan, terbukti bahwa akta gadai untuk jaminan hanya bernilai US$ 1,8 juta. Akta gadai yang tidak sesuai inilah yang mengantarkan Misbakhun ke meja hijau.
Berbagai keganjilan tadi tidak membuat permohonan kredit Selalang terganjal. Robert Tantular, Direktur Bank Century saat itu, menerbitkan instruksi kepada stafnya guna memuluskan jalan Selalang. Uang US$ 22,5 juta berpindah ke pundi Selalang. Alih-alih untuk mengimpor Bintulu sesuai dengan proposal, uang itu ditanam di perusahaan investasi di Hong Kong, yang akhirnya gagal lantaran terimbas krisis global pada 2008.
Memasuki 2009, Misbakhun menjadi anggota Dewan. Pada saat itu, bailout Bank Century mendominasi pentas politik nasional. Walhasil, harus diakui bahwa ada aroma perang politik di sini. Misbakhun, anggota Panitia Khusus Century, diadukan ke polisi oleh Andi Arief, staf khusus Presiden Yudhoyono. Di luar perkara politik itu, kasus Misbakhun jelas merupakan penyelewengan serius. Ada peraturan perbankan yang disalahgunakan demi kepentingan individu. Nilai jaminan, pagar kehati-hatian bank, diterabas.
Manipulasi kredit adalah kejahatan kerah putih yang berdampak serius. Kesehatan bank, iklim investasi, dan keseluruhan makroekonomi menjadi taruhan. Meremehkan kejahatan ini, dengan menjatuhkan hukuman ringan, bisa menyuburkan manipulasi perbankan. Penegak hukum seharusnya mampu mengambil tindakan progresif, meski melibatkan anggota Dewan.
Hakim dan jaksa penuntut perlu kita sorot secara serius. Hakim menilai bahwa tuntutan jaksa, yakni pemalsuan surat otentik (pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Perbankan), tidak cocok untuk menjerat Misbakhun. Pasal tersebut ditujukan khusus untuk komisaris dan jajaran direksi bank. Hakim menilai Misbakhun lebih tepat dibidik dengan pasal 263 Undang-Undang Perbankan, yakni tentang pemalsuan dokumen.
Inilah yang rada aneh. Mengapa hakim memilih pasal yang di luar tuntutan jaksa dengan jeratan hukum lebih ringan? Jaksa penuntut seharusnya menggunakan pasal berlapis untuk menjerat Misbakhun. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, misalnya, bisa digunakan untuk menindak pelaku yang mengambil uang dengan proses ilegal dan menanamnya di luar negeri.
Kejaksaan Agung dan Komisi Yudisial wajib melakukan eksaminasi kasus vonis ringan ini dengan teliti. Tim pengawas dari Mahkamah Agung pun mesti turun tangan. Jika ditemukan kesalahan pertimbangan hukum, oleh jaksa maupun hakim, sanksi harus dijatuhkan tanpa ragu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo