Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Waspada Bakar Modal Uang Elektronik

Kehadiran beragam uang elektronik meningkatkan transaksi nontunai. Bank Indonesia harus memastikan tidak terjadi monopoli di pasar.

16 Oktober 2019 | 07.00 WIB

Direktur Keuangan TransJakarta, Welfizon Yuza (kiri) melayani calon penumpang mengisi ulang uang elektronik di Halte TransJakarta Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu 4 September 2019. Kegiatan tersebut sebagai bentuk apresiasi PT TransJakarta terhadap pelanggan dalam Hari Pelanggan Nasional 2019. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Perbesar
Direktur Keuangan TransJakarta, Welfizon Yuza (kiri) melayani calon penumpang mengisi ulang uang elektronik di Halte TransJakarta Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu 4 September 2019. Kegiatan tersebut sebagai bentuk apresiasi PT TransJakarta terhadap pelanggan dalam Hari Pelanggan Nasional 2019. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

PEMAKAIAN uang elektronik merupakan keniscayaan pada zaman digital ini. Tak aneh, banyak yang meramalkan penggunaan uang tunai segera punah. Konsumen kini memanfaatkan kemudahan transaksi nontunai, dari pembayaran moda transportasi, penyaluran bantuan sosial, sampai jual-beli barang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Makin banyaknya pemakaian uang elektronik jelas kabar menggembirakan. Kehadiran sejumlah instrumen pembayaran itu meningkatkan kemudahan transaksi keuangan sekaligus mengurangi biaya pencetakan uang. Konsumen bisa melakukan pembayaran kapan dan di mana saja. Sedangkan Bank Indonesia tak perlu cepat-cepat mengganti uang beredar. Ini sejalan dengan cita-cita pemerintah mendorong Gerakan Nasional Nontunai, yang gencar dikampanyekan Bank Indonesia sejak lima tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Upaya mendorong masyarakat agar terbiasa memakai alat pembayaran nontunai mulai terasa hasilnya setelah uang elektronik berbasis server, seperti GoPay, OVO, DANA, dan LinkAja, bermunculan di pasar dompet digital pada 2016-2019. Kehadiran mereka melengkapi penggunaan uang elektronik berbasis chip yang telah ada, seperti e-Money, Flazz, dan Brizzi. Jumlah entitas yang mengantongi izin uang elektronik hingga Mei tahun ini mencapai 38 perusahaan.

Lompatan pemakaian uang elektronik terekam dalam data Bank Indonesia. Pada akhir 2018, volume transaksi uang elektronik mencapai 2,9 miliar dengan nilai Rp 47,2 triliun. Nilai transaksi itu melonjak hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya, sebesar Rp 12,4 triliun. Penggunaan uang elektronik hingga Juli tahun ini bahkan sudah mencapai Rp 69 triliun. Inklusivitas pemakaian uang elektronik untuk layanan umum, misalnya pembayaran jalan tol, ikut mengerek volume dan nilai transaksi. Padahal, satu tahun setelah Gerakan Nasional Nontunai bergulir, nilai transaksi uang elektronik baru mencapai Rp 5,3 triliun atau hanya naik Rp 2 triliun dari 2014.

Di tengah ketatnya persaingan, Bank Indonesiasebagai regulatorharus betul-betul mendorong terjadinya kompetisi yang sehat di antara para pelaku. Hanya dengan cara ini mereka akan terlecut mencari inovasi agar lebih efisien dan memiliki keunggulan bersaing. Sistem pembayaran nontunai yang lebih praktis, aman, dan efisien pada akhirnya akan menguntungkan pelanggan. Dengan efisiensi ini pula perusahaan pembayaran bisa bertahan di pasar.

Tumbuhnya penggunaan transaksi nontunai tak hanya memberikan manfaat bagi konsumen, tapi juga bagi para merchant yang selama ini menjadi mitra. Jumlah merchant yang menggunakan GoPay, misalnya, mencapai 400 ribu. Sebagian besar dari mereka merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah. Naiknya nilai transaksi otomatis meningkatkan pendapatan mereka. Dengan begitu, ekosistem pembayaran digital bisa tumbuh berkelanjutan.

Yang patut diwaspadai adalah praktik predatory pricing dengan menjatuhkan harga jauh di bawah biaya keekonomian dengan tujuan mematikan pesaing. Caranya: "membakar uang" terus-menerus demi membunuh pesaing. Lalu satu penyedia layanan akan menjadi pemain tunggal di pasar. Ini biasa dilakukan perusahaan yang memiliki modal besar. Indikasi ini terlihat dari maraknya diskon dan promosi uang kembali yang ditawarkan kepada konsumen. Subsidi harga ini berlawanan dengan iklim kompetisi yang sehat.

Bila nantinya terjadi monopoli atau pasar dikuasai segelintir pemain, konsumen akan dirugikan karena tak punya banyak pilihan. Gerakan Nasional Nontunai bisa redup di tengah jalan. Regulator harus memastikan tak akan tercipta pasar yang monopolistik itu.

Catatan:

Ini merupakan artikel opini majalah tempo edisi 14-20 Oktober 2019

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus