Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Editorial Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
---
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA dua hal mendasar yang harus dipenuhi dalam setiap program pemerintah agar mencapai tujuan: tepat waktu dan tepat sasaran. Amat disayangkan, pemenuhan dua syarat itu tak terlihat pada paket insentif pajak dan bantuan sosial yang digulirkan pemerintah. Akibatnya, alih-alih bertujuan memitigasi dampak pelemahan ekonomi global dan fenomena El Nino, kebijakan itu justru diliputi aroma kepentingan politik menjelang pemilihan presiden 2024.
Pekan lalu, pemerintah mengumumkan menyiapkan empat paket kebijakan mitigasi. Satu di antaranya, berupa insentif untuk sektor properti, berlaku mulai Rabu ini, 1 November 2023. Selama 14 bulan ke depan, pemerintah bakal menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) atas pembelian rumah komersial baru seharga kurang dari Rp 2 miliar. Pemerintah juga akan memberikan bantuan dana biaya administrasi senilai Rp 4 juta kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang membeli rumah.
Di sisi lain, pemerintah juga menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT) El Nino senilai Rp 200 ribu per bulan kepada 18,8 juta keluarga penerima manfaat pada November dan Desember mendatang. Khusus Desember, pemerintah menambah alokasi bantuan beras 10 kilogram kepada 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Jika ditotal, seluruh seluruh paket kebijakan mitigasi dampak pelemahan ekonomi dan El Nino tersebut memakan anggaran sedikitnya Rp 13,4 triliun. Angka ini di luar upaya percepatan realiasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang tahun ini targetnya ditingkatkan menjadi Rp 297 triliun.
Prospek ekonomi dunia memang makin redup dan tak bisa diterka arahnya. Ancaman stagflasi global tak hanya datang dari lonjakan harga pangan, tapi juga harga minyak yang mulai terkerek oleh memanasnya konflik di Timur Tengah. Di sisi lain, sektor perdagangan dan finansial juga masih tertekan akibat lesunya perekonomian Cina dan berlanjutnya pengetatan moneter Amerika Serikat.
Karena itu, paket kebijakan yang disiapkan pemerintah seakan tampak mulia. Instrumen fiskal digelontorkan untuk mencegah menopang konsumsi masyarakat. Insentif sektor properti juga akan menjadi stimulus bagi pengembang perumahan, industri bahan baku, jasa konstruksi, hingga perbankan yang butuh menggenjot penyaluran kredit. Dengan begitu fungsi utama anggaran negara sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi seolah-olah terlaksana.
Tapi niat baik pemerintah pantas diragukan. Pertanyaannya, mengapa paket insentif pajak dan bantuan El Nino baru digulirkan sekarang? Padahal gejolak ekonomi global sebetulnya sudah bisa dirasakan jauh-jauh hari.
Kinerja penjualan properti berturut-turut merosot pada triwulan I dan triwulan II 2023. Asosiasi pengusaha real estate sejak awal tahun juga telah mendesak pemerintah agar melanjutkan program PPN ditanggung pemerintah (PPN DTP), seperti yang pernah diberlakukan pada 2021 dan 2022 di masa pandemi Covid-19.
Begitu pula harga bahan pangan merangkak naik sejak dimulainya fenomena El Nino pada pertengahan Mei lalu. Penurunan produksi dalam negeri dan seretnya importasi telah memicu kelangkaan pasokan dan kenaikan harga beras. Sejak Juni lalu, Indeks Keyakinan Konsumen cenderung melorot--indikasi kian merosotnya daya beli masyarakat.
Lambannya respons pemerintah menangani berbagai permasalah tersebut pada akhirnya justru berpotensi menyebabkan kebijakan terbaru tak efektif dan tak optimal memitigasi dampak pelemahan ekonomi dan El Nino. Insentif pajak dan bantuan biaya administrasi untuk pembelian rumah, misalnya, berpotensi tidak cepat terserap karena pengembang keteteran menyediakan rumah siap huni dalam waktu singkat. Selain tertekan oleh menurunnya permintaan, pelaku usaha sektor ini sudah lama terhimpit oleh timpangnya ketersediaan modal dan lahan di setiap daerah.
Penambahan alokasi bantuan sosial juga masih dihantui potensi penyaluran tak tepat sasaran. Yang paling sederhana, Kementerian Keuangan menyebut tambahan bantuan beras akan didistribusikan kepada 21,3 juta KPM. Sedangkan Badan Pangan Nasional menyebut pemutakhiran data hanya mencatat 20,6 juta keluarga penerima bantuan. Kalaupun perbedaan angka ini dianggap tak bermasalah, akurasinya juga tetap meragukan karena merujuk pada data Kementerian Sosial yang sejak lama bermasalah.
Pemerintah seharusnya merencanakan kebijakan mitigasi dampak pelemahan ekonomi global secara terukur, transparan, dan akuntabel. Penyiapan program bantuan yang terkesan dadakan dan serampangan saat ini hanya akan memantik kekhawatiran bahwa pemerintah tak bersungguh-sungguh. Sebaiknya, kecurigaan adanya kepentingan elektoral justru mencuat. Kecurigaan itu tak berlebihan. Banyak studi menunjukkan bahwa program-program populis, seperti bantuan sosial dan insentif pajak, rentan dimanfaatkan oleh penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya lewat pemilihan umum.
Hari-hari ini, gejalanya menguat di Indonesia. Kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi Undang-Undang Pemilihan Umum sudah cukup menunjukkan betapa tingginya syahwat politik Presiden Joko Widodo. Jika hukum dan etika saja ditengarai dikangkangi untuk membuka jalan bagi pencalonan sang anak, tak terbayang segala cara yang akan dilakukan untuk memenangkannya.