Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Waswas Trump

14 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMENANGAN Donald Trump dalam pemilihan umum Presiden Amerika Serikat pekan lalu menunjukkan bahwa irasionalitas, kemasabodohan, dan kebebalan tampaknya telah berjangkit di banyak tempat.

Sebelum di Amerika, di Eropa meluas sikap nasionalisme sempit, kecenderungan anti-imigran dan anti-Islam. Di Asia telah muncul politikus seperti Rodrigo Duterte, yang telah memelopori politik gaya koboi yang melabrak hak asasi dan menebarkan ketakutan terhadap sesuatu yang "asing". Fenomena ini memprihatinkan—kalau tidak bisa kita sebut mengkhawatirkan.

Sejak mengumumkan maju sebagai kandidat presiden, Trump berkampanye dengan menyalakan insting terburuk dalam diri manusia—fanatisme, watak jahat, kedengkian. Sungguh mengganggu akal sehat: dia terpilih sebagai presiden di satu negara yang kerap dianggap kampiun demokrasi. Harus kita katakan, demokrasi bukan sistem yang sempurna, terutama jika sebagian besar rakyat yang terlibat adalah kaum yang mudah dimanipulasi.

Segera setelah kemenangan itu, ada yang berupaya meredakan keresahan—barangkali kegusaran—dengan mengatakan semua tindakan Trump selama kampanye hanyalah siasat agar ia terpilih. Setelah menjabat, menurut pendapat ini, Trump diharapkan berubah. Sayangnya, rekam jejak pengusaha properti yang sempat menjadi bintang televisi itu sulit dihapus: dia adalah pembohong ulung, pengusaha culas yang biasa merendahkan perempuan dan menghina minoritas. Di masa kampanye, dia berulang kali melecehkan perempuan selain menyebut pesaingnya, Hillary Clinton, sebagai bandit.

Selama ini orang lebih mengenal Trump lewat kehidupannya yang gemerlap. Dia pemilik sejumlah perkantoran, hotel, dan apartemen di Amerika dan di beberapa negara lain. Dia memiliki kasino, kapal pesiar, maskapai penerbangan. Pada 1996, dia membeli perusahaan penyelenggara kontes kecantikan Miss Universe.

Ia pernah digugat Departemen Kehakiman karena menghalang-halangi orang menyewa apartemen miliknya karena alasan ras dan warna kulit. Ketika membangun Trump Tower di Manhattan, Kota New York, pada 1979, dia membayar 200 pekerja ilegal dari Polandia dengan upah di bawah batas minimum. Setidaknya empat kali dia mengajukan permohonan pailit—status yang dapat membuatnya terhindar dari kewajiban membayar pajak, bahkan sesaat setelah ia menjadi calon presiden.

Berkaca pada masa lalunya, sulit untuk percaya bahwa Trump akan berubah. Dia bahkan tak berusaha mencegah agitasi di antara pendukungnya saat menyampaikan pidato kemenangan. Dia menyerukan persatuan, tapi di antara massa terdengar seruan "Bunuh Obama". Jika kebencian ini tak diredam, tak terbayangkan nasib Amerika, juga dunia, setelah ini. Ancaman serangan terhadap orang asing akan merebak di Amerika. Lalu, sebagai balasan, pekik permusuhan terhadap Amerika dan Barat secara keseluruhan dari kalangan radikal akan bertambah keras.

Simplifikasi akan sulit dihindarkan: oleh pembencinya, Amerika akan diringkus menjadi sebuah entitas yang utuh tanpa gradasi dalam masyarakat. Amerika adalah potret "si jahat"—raksasa yang memerangi "Timur" dan "Islam". Sebaliknya, mengikuti logika Trump, "Timur" dan "asing" adalah ancaman yang tak akan berhenti merangsek.

Sikap anti-asing yang dikobarkan Trump akan berdampak buruk pada dunia internasional, termasuk di bidang ekonomi. Proteksionisme adalah janji Trump. Dia mau membatalkan NAFTA, zona perdagangan bebas yang disepakati bersama dengan Kanada dan Meksiko. Dia juga menentang pakta Trans-Pacific Partnership (TPP), yang digagas Amerika untuk meliberalkan perdagangan di antara 12 negara di kawasan Asia-Pasifik.

Andaikan Trump merealisasi janji-janjinya, dengan kebijakan yang membentengi produk dan industri Amerika, perang dagang bakal tak terhindarkan. Cina, negara yang berpeluang menjadi sasaran kenaikan tarif untuk produk-produknya, kuat diduga akan membalas. Tanpa TPP, dan jika Indonesia memilih merapat ke Cina, yang bukan partisipan TPP, akibatnya juga bisa buruk bagi ekonomi di sini. Amerika, bagaimanapun, merupakan pasar terbesar ekspor produk Indonesia.

Sampai kebijakan itu benar ditetapkan, hanya ada kalkulasi di atas kertas tentang sejauh mana akibat buruk yang mesti ditanggung. Ditambah kemungkinan meningkatnya intensitas permusuhan terhadap Amerika dari kelompok-kelompok radikal, upaya membuat perkiraan-perkiraan jadi pekerjaan yang tak mudah. Ini tambahan tugas yang tak terelakkan untuk pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus