Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Whoosh

Menjelang peresmian kereta cepat, APBN malah dijadikan jaminan untuk meyakinkan bahwa utang besar itu akan terbayar.

24 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wus... wus.... Begitulah celetukan spontan para penumpang kereta api cepat Jakarta-Bandung saat uji coba. Yang menyeletuk bukan orang sembarangan. Ada Presiden Joko Widodo, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Ini cerita Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kereta ini berkecepatan maksimal 350 km/jam. Tak ada getaran seperti sepur yang sudah ada selama ini, yang suaranya glojek... glojek.... Suara itu lantaran relnya tidak boleh menyambung terus. Selalu ada celah agar rel tak melengkung saat kepanasan. Rel kereta cepat bersambung tanpa celah. Jadi, ia tak akan melengkung karena bahannya khusus, tahan terhadap panas. Tak ada suara glojek... glojek.... Yang ada, wus.... Maka, begitu cerita Menteri Perhubungan, kereta cepat ini diberi nama sesuai dengan celetukan para penumpang itu. Didapatlah nama Whoosh yang di lidah orang Indonesia terucap wus. Dalam bahasa asing, whoosh berarti cepat. Klop.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak semudah ketika memberi nama, proyek ini bertele-tele dalam pengerjaannya. Pemerintah semula yakin kereta cepat ini tidak menggunakan dana anggaran pembangunan dan belanja negara (APBN). Namun belakangan APBN pun dipakai. Menjelang peresmian kereta cepat, APBN malah dijadikan jaminan untuk meyakinkan bahwa utang besar itu akan terbayar. Istilah orang awam, “APBN digadaikan”—meski semua ini dibantah oleh juru bicara Kementerian Keuangan karena jaminan seperti ini hal yang sudah lumrah.

Untuk siapa kereta cepat ini? Tentu saja untuk rakyat Indonesia, meski operatornya sebagian besar datang dari Cina. Rakyat yang mana? Kelas menengah ke atas karena tiketnya tidak murah. Saat ini tiket kereta cepat dipatok Rp 228.800, angka keramat karena hanya ada dua bilangan keberuntungan. Dihitung-hitung dengan tiket sebesar itu, kereta cepat ini akan balik modal setelah 35-40 tahun. Karena itu, konsesi atau hak operasi yang diberikan kepada PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) selama 50 tahun. Namanya bisnis kan perlu untung. Tapi, setelah dihitung ulang menjelang operasi, masa konsesi dianggap kurang. KCIC—patungan konsorsium BUMN dan perusahaan Cina—pun meminta tambahan menjadi 80 tahun.

Apakah yakin, jika konsesi diperpanjang menjadi 80 tahun, kelak tak ada lagi perpanjangan baru? Masalahnya, hitung-hitungan KCIC tak transparan. Ekonom senior Indef, Faisal Basri, punya hitung-hitungan yang jauh lebih dahsyat sampai menyebutkan perumpamaan, “Balik modal kereta cepat ini bisa sampai kiamat”. Mari kita ikut menghitungnya.

Biaya investasi sebesar Rp 114,24 triliun. Tarifnya Rp 228.800. Kapasitas penumpang 556 orang. Kereta bolak-balik Jakarta-Bandung paling banyak 22 kali sehari. Bila kereta penuh penumpang sekali jalan, kereta cepat akan mengantongi pendapatan Rp 127.212.800. Sehari berarti Rp 2,798 miliar. Dalam setahun, 365 hari tanpa libur dan penumpang selalu penuh, total pendapatan Rp 1,02 triliun. Jadi, perlu waktu 112 tahun untuk mendapatkan biaya investasi Rp 114,24 triliun. Itu belum biaya operasional, perawatan, ataupun gaji pegawai. Seabad lebih kereta cepat ini belum balik modal dan kita berutang.

Bukankah untuk kenyamanan warganya pemerintah tak berhitung untung-rugi? Ini pemikiran yang mulia. Tapi apakah adil rakyat yang bepergian ke Bandung dari Jakarta dan sebaliknya, yang di dalamnya sarana sudah banyak, ada kereta api biasa, jalan tol, jalan alternatif yang mulus, harus ditambah lagi kereta cepat? Dan untuk itu kita berutang seabad lebih? Kenapa tak membangun irigasi ke sawah para petani dan menambah subsidi pupuk agar Indonesia tak perlu mengimpor beras?

Kereta cepat sudah beroperasi, syukurlah. Ini pelajaran berharga bagaimana kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam proyek yang biayanya terus membengkak. Perlu kajian yang lebih baik. Yang penting dari segalanya, apa yang lebih mendesak diberikan kepada masyarakat untuk keadilan di seluruh Nusantara. Banyak orang desa kembali makan singkong karena beras mahal, sedangkan orang Jakarta pelesir ke Bandung naik kereta: wus....

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus